Di sebagian besar dunia, sinema anak-anak masih berjuang untuk mendapatkan pengakuan, sering kali dianggap sebagai program sampingan pendidikan dibandingkan sebagai kekuatan artistik atau komersial. Sharjah Intl. Festival Film Anak-Anak, yang baru saja menutup edisi ke-12nya (6-12 Oktober), memberikan argumen tandingan yang menarik. Festival ini telah berkembang dari sebuah pertunjukan regional menjadi tempat berkumpulnya gerakan internasional yang sedang berkembang, yang melihat anak-anak tidak hanya sebagai penonton, namun juga sebagai peserta, kritikus, dan pencipta.

Selama seminggu pemutaran film, lokakarya, dan pertukaran lintas budaya, SIFF menegaskan kembali bahwa penceritaan remaja bukanlah sebuah niche, namun sebuah laboratorium untuk empati, kreativitas, dan imajinasi.

Berikut lima hal yang dapat diambil dari festival tahun ini.

Juri Junior: Saat Anak-Anak Menjadi Kritikus
Para juri junior SIFF terus mewujudkan gagasan awal festival ini: bahwa pendidikan film dimulai tidak hanya di ruang kelas, namun juga dalam percakapan. Bagi banyak peserta, pengalaman ini sangat transformatif.

Yukhti Sharma yang berusia empat belas tahun menyebut peran tersebut sebagai “suatu hak istimewa yang membuat Anda melihat bagaimana film sebenarnya bekerja, mulai dari tempo, sudut, hingga emosi.” Rekan juri Hawraa Yaser menyatakan bahwa film tersebut mengajarinya “anak muda dapat membuat perbedaan dalam cara penyampaian cerita,” sementara Amal Abdulaziz Alabdouli mengamati bahwa dia sekarang menonton film “untuk simbolisme, ritme, dan bagaimana musik mengubah suasana hati.”

Komentar mereka mencerminkan bagaimana program ini membingkai ulang penonton sebagai penulis. Dengan mengajak anak-anak berunding, berdebat, dan memilih pemenang, SIFF pada hakikatnya mengajarkan literasi media sebagai disiplin kreatif, menumbuhkan penonton yang mengartikan film secara kritis, bukan pasif.

Ini adalah bentuk pemberdayaan: memercayai anak-anak dengan selera, bukan sekadar hiburan.

Global Connect: Sinema Anak-Anak Menemukan Suaranya
Salah satu hal yang paling menarik perhatian pada SIFF tahun ini bukan di layar, melainkan di ruang panel seperti Kongres Film Anak dan Remaja Global, tempat para direktur festival dari seluruh dunia membandingkan catatan tentang keberhasilan dan tantangan dalam mempertahankan sinema anak-anak.

Dari Johannesburg, Firdoze Bulbulia, pendiri Festival Film Anak-anak Nelson Mandela, mengingatkan rekan-rekannya, “anak-anak adalah investasi paling penting yang dapat dilakukan masyarakat. Pikiran mereka terbuka, penuh rasa ingin tahu, penuh kemungkinan –– belum letih oleh sinisme.” Terlalu sering, katanya, “industri yang lebih luas mengabaikan hal ini karena tidak menjanjikan keuntungan komersial dalam waktu dekat. Namun nilai sebenarnya terletak pada pembentukan cara pemirsa muda memandang dunia dan satu sama lain.” Melalui inisiatif seperti Piagam Afrika tentang Penyiaran Anak, Bulbulia telah menghabiskan waktu puluhan tahun untuk mengubah keyakinan tersebut menjadi kebijakan: bahwa media anak-anak bukanlah media amal atau pedagogi melainkan hak sipil.

Ralm Lee, direktur Busan Intl. Korea Selatan. Festival Film Anak dan Remaja, mengambil pendekatan saintifik. BIKY bermitra dengan pembuat film, pendidik, ilmuwan, dan perusahaan lokal untuk mempelajari bagaimana cerita memengaruhi empati dan perkembangan kognitif. “Sinema anak-anak bukanlah sebuah genre sampingan, di sinilah masa depan penceritaan dimulai,” jelasnya. “Saat orang-orang menyaksikan dampaknya, seperti anak-anak yang membuat film pertama mereka, atau diskusi penonton yang mengubah cara orang dewasa memandang dunia, mustahil untuk menganggap bidang ini ‘kecil’.”

Shruti Rai dari India, yang mengetuai Festival Film Anak-Anak Chinh India, menyuarakan keyakinan tersebut melalui program Literasi Media Chinh, yang melatih anak-anak sekolah untuk membuat film mereka sendiri. Chinh juga merupakan festival pertama di dunia yang memperkenalkan juri pra-K, di mana anak-anak berusia tiga hingga tujuh tahun mengevaluasi film yang dibuat untuk kelompok usia mereka, sebuah tindakan kepercayaan yang berani yang mendefinisikan kembali arti “partisipasi generasi muda”. “Kami tidak menunggu orang dewasa membuat film untuk anak-anak,” tegas Rai. “Kami mengajari anak-anak untuk membangun dunia sinematik mereka sendiri. Kami menabur benih yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk tumbuh, namun mereka terus berkembang.”

Bersama-sama, para direktur ini dan banyak orang lain yang hadir di SIFF membentuk jaringan baru dengan tujuan bersama, mendalami pendidikan, akses, dan penyampaian cerita itu sendiri. Peran Sharjah bukanlah memimpin, melainkan menghubungkan, menyatukan suara-suara dari seluruh dunia ke dalam percakapan yang sama tentang apa itu bioskop anak-anak.

Infrastruktur sebagai Visi: Sharjah Membangun Ekosistem Kreatif
Pertumbuhan SIFF adalah bagian dari visi kreatif yang lebih luas yang mulai terbentuk di seluruh Emirat Sharjah. Sharjah Media City (juga dikenal sebagai Shams), mitra utama festival ini, telah meluncurkan ruang produksi baru, program media digital, dan inkubator bakat yang dirancang untuk mengubah investasi budaya menjadi infrastruktur industri jangka panjang. Sinergi dengan SIFF tidak bersifat struktural, kedua entitas beroperasi secara terpisah, namun bersifat filosofis: keduanya memandang pemuda dan kreativitas sebagai infrastruktur jangka panjang.

Direktur SIFF Sheikha Jawaher binti Abdullah Al Qasimi sering menggambarkan festival ini sebagai jembatan antara pendidikan dan industri, tempat di mana imajinasi menjadi jalur profesional. Dengan Shams memperluas sisi teknis dari persamaan tersebut, Sharjah secara efektif menciptakan ekosistem di mana penyampaian cerita dan kewirausahaan saling memperkuat.

Di era ketika “ekonomi kreatif” telah menjadi kata kunci global, pendekatan Sharjah terasa sangat mendasar. Pertaruhannya terhadap budaya bukanlah sekedar upaya branding, namun investasi publik dan sipil yang berkelanjutan.

Berinvestasi Secara Lokal: Suara Emirat Menjadi Sorotan
Bagi para pembuat film muda Emirat yang tampil perdana atau kembali ke SIFF, infrastruktur tersebut tidak akan bisa hadir dalam waktu dekat. Fatimah Alshamsi menggambarkan momen saat ini sebagai sebuah kemungkinan namun juga kerapuhan. “Dukungan nyata dimulai ketika festival berakhir,” jelasnya. “Kami membutuhkan laboratorium, hibah, dan bimbingan yang memungkinkan kami berkembang di sela-sela festival dan terhubung dengan pelanggan yang percaya pada dunia lokal.”

Filmnya, “Wa’ad,” yang merupakan bagian dari bagian Film Pendek Arab dan diterima dengan hangat oleh penonton, mengingatkannya bahwa fase selanjutnya dari sinema Emirat dimulai dari penonton termuda. “Anak-anak dalam pemutaran film saya tidak pemalu,” kenangnya. “Mereka terkesiap, tertawa, dan bahkan memarahi karakternya. Ini menunjukkan kepada saya bahwa cerita kita tidak memerlukan validasi eksternal. Cerita bisa tumbuh dari cara anak-anak kita memandang diri mereka sendiri.”

Pembuat film Ali Fuad, yang meraih penghargaan tertinggi di bagian Dokumenter untuk “Guardians of the Mountains,” memandang penceritaan sebagai pelestarian. “Seseorang pernah mengatakan kepada saya bahwa kita tidak perlu menunjukkan apa pun kepada anak-anak kita tentang masa lalu kita,” renungnya. “Rasa tanggung jawab itulah yang mendorong saya.” Fuad berharap dapat membawa sejarah Emirat kepada khalayak global “dalam bentuk aslinya, bukan sebagai stereotip, namun sebagai kenangan.”

Bersama-sama, para pembuat film ini mewujudkan harapan Sharjah: bahwa dengan berinvestasi pada pencipta lokal sejak dini, emirat dapat membangun budaya film yang dapat diekspor dan mengakar kuat.

Masa Depan Digital: Memperluas Akses Melalui Teknologi
Jika jiwa SIFF terletak pada tradisi, maka pandangannya tertuju pada masa depan. Edisi tahun ini memamerkan pengeditan yang dibantu AI, pembuatan film seluler, dan lokakarya pasca digital, yang mendorong peserta untuk menulis, memotret, dan memotong film pendek langsung di perangkat mereka sendiri.

Inisiatif ini bukan tentang hal-hal baru, melainkan tentang akses. Di wilayah di mana sekolah film masih langka, telepon pintar telah menjadi studio tingkat awal, alat untuk kreasi dan inklusi.

Direktur festival Sheikha Jawaher binti Abdullah Al Qasimi menyebutnya sebagai “masa depan di mana setiap anak yang memiliki cerita dan ponsel pintar dapat menjadi pembuat film.” Etos tersebut mengubah teknologi sebagai cara untuk mendemokratisasi kreativitas tanpa melemahkannya.

Dengan memanfaatkan perangkat seluler dan AI, SIFF tidak mengejar tren namun menghilangkan hambatan, mengubah literasi digital menjadi agensi artistik. Di era di mana cerita dulunya memerlukan institusi, generasi berikutnya harus belajar untuk membangun institusinya sendiri.

Kesimpulannya
Dalam rangkaian topik ini dan banyak hal lainnya, SIFF tahun ini memposisikan bioskop anak-anak bukan sebagai bagian dari industri film, namun sebagai hati nuraninya. Di Sharjah, masa depan pembuatan film tidak lagi terlihat seperti tontonan, namun lebih seperti penatalayanan. Suara-suara termuda tidak menunggu untuk mewarisi medium tersebut, mereka sudah membentuknya kembali.

Tautan Sumber