Jakarta, Viva – – Kepala Petugas Kesehatan Prudential Indonesia Yosie William Iroth mengatakan, meski akses kesehatan di Indonesia telah meningkat signifikan, pasien masih menghadapi tantangan yang menghambat mereka mendapatkan perawatan yang dibutuhkan.
Baca juga:
Biaya Medis Melonjak, Prudential Syariah Enggak Panik
Hal tersebut merupakan hasi dalri survei yang dilakukan perusaan bertajuk ‘Studi Prudential – Suara Pasien Indonesia: Terhimpit di antara Kebutuhan Perawatan, Biaya, dan Kejelasan Informasi’.
Studi tersebut menegaskan perlunya sistem layanan kesehatan yang dapat meminimalkan gangguan pada kehidupan sehari-hari.
Baca juga:
Polisi Turun Tangan Usut Keluarga Pasien Paksa Dokter Lepas Masker
“Memberikan kepastian biaya sejak awal, serta menyediakan informasi yang andal dan mudah dipahami agar pasien merasa percaya diri untuk segera mencari perawatan ketika dibutuhkan,” ujar Yosie dikutip dari keterangannya, Kamis, 18 September 2025.
Yosie menambahkan bahwa kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan dengan distribusi dokter yang belum merata juga menjadi tantangan tersendiri. Salah satu dampak yang paling nyata dari ketidakmerataan ini adalah 77 persen pasien merasa tidak mudah untuk menemui dokter, mulai dari sulitnya membuat janji temu, antrean panjang, hingga hambatan akses lainnya.
Baca juga:
Perkuat Ekosistem Keuangan Syariah, Intip Kolaborasi BSI dengan Prudential Sharia
“Kendala tersebut bukan hanya menunda perawatan, tetapi juga mengganggu pekerjaan, aktivitas rumah tangga, serta tanggung jawab lainnya,” tambahnya.
Survei tersebut dilakukan Prudential Indonesia dan Prudential Syariah merilis temuan survei bekerja sama dengan Dampak Ekonomberjudul
Laporan ini merupakan bagian dari studi yang lebih luas yang diinisiasi oleh Prudential plc: “Suara Pasien: Pengalaman Akses Layanan Kesehatan di Asia”, yang dilakukan di empat negara: Hong Kong, Singapura, Malaysia, dan Indonesia. Studi ini melibatkan lebih dari 4.200 responden dan meneliti pengalaman pasien dalam mengakses layanan kesehatan.
Di Indonesia, survei ini mengungkap temuan mengejutkan: 9 dari 10 responden (hampir 93 persen) mengaku menunda perawatan atau mencari layanan kesehatan, dan hampir setengahnya (44 persen) menyatakan mereka berulang kali menunda pengobatan. Penundaan tersebut terutama dipengaruhi oleh tiga faktor utama.
Pertama, kurangnya informasi kesehatan yang jelas: Lebih dari setengah responden menyatakan tidak memiliki informasi medis yang mereka butuhkan, sehingga ragu atau tidak tahu ke mana harus mencari opini kedua maupun informasi medis. Hampir 44 persen responden mengatakan tidak memperoleh informasi yang mereka perlukan saat bertemu dokter terkait diagnosis.
Kedua, biaya sebagai sumber stres: Satu dari lima responden menyebut ketidakpastian mengenai bagaimana biaya perawatan akan ditanggung sebagai kekhawatiran utama, ditambah dengan biaya tak terduga yang harus dibayar sendiri. Untuk menutupi biaya medis, 56 persen responden mengandalkan jaring pengaman sosial, termasuk keluarga (17 persen), pinjaman (12 persen), lembaga amal (13 persen), dan crowdfunding (14 persen).
Ketiga, keluarga sebagai prioritas utama: Banyak pasien menempatkan tanggung jawab rumah tangga di atas kesehatan pribadi. Sebanyak 20 persen menunda perawatan demi memenuhi kebutuhan finansial keluarga, sementara 18 persen memprioritaskan pengasuhan anak dibanding perawatan diri.
Keempat, bagi banyak masyarakat Indonesia, akses terhadap layanan kesehatan masih menjadi tantangan. Sepertiga responden (34 persen) menyebut ketenangan pikiran saat mencari layanan kesehatan sangat tergantung pada kondisi sehari-hari. Sementara 17 persen menilai waktu tunggu yang panjang sebagai hambatan besar.
Sedangkan, 77 persen melaporkan kesulitan membuat janji temu, antrean panjang, atau masalah akses lainnya, gangguan yang tidak hanya menunda perawatan tetapi juga mengganggu pekerjaan, rutinitas rumah tangga, dan tanggung jawab keluarga.
“Dari hasil riset, kami mendengar bahwa pasien Indonesia menginginkan layanan kesehatan yang terjangkau, mudah diakses, dan sesuai dengan kehidupan sehari-hari mereka, bukan sebaliknya. Menghadirkan layanan kesehatan yang tidak merepotkan adalah bagian dari komitmen kami untuk pasien disaat mereka membutuhkan kami, sehingga mereka bisa fokus pada kesembuhan,” ujar Arjan Toor, Chief Executive OfficerKesehatan, Prudential Plc.
Kepala Pelanggan & Petugas Pemasaran Prudential Syariah, Vivin Arbianti Gautama, menambahkan, Prudential memiliki peran untuk membuat layanan kesehatan lebih mudah diakses, lebih terjangkau, dan pada akhirnya lebih praktis.
“Semua berawal dari membantu nasabah memahami bahwa pendekatan preventif terhadap kesehatan memungkinkan mereka mendeteksi risiko lebih awal,” singkatnya.
Prudential telah memperkenalkan PRUPriority Hospitals, yang dirancang untuk membuat pengalaman pasien lebih lancar dan bebas khawatir melalui klaim tanpa tunai (tanpa uang tunai), transparansi biaya, kualitas layanan yang konsisten, serta akses ke jaringan lebih dari 1.700 rumah sakit di seluruh Indonesia. Inisiatif ini mendukung upaya pemerintah dalam meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi layanan kesehatan, khususnya dalam verifikasi klaim.
Selain itu, Prudential juga memperkuat kolaborasi dengan para pemangku kepentingan, termasuk Kementerian Kesehatan, dengan memanfaatkan analitik data kesehatan untuk mendukung perbaikan sistem informasi nasional. Kemitraan ini merupakan bagian dari upaya berkelanjutan untuk mendorong transformasi kesehatan Indonesia melalui reformasi berbasis data dan berkelanjutan.
Dengan hampir 30 tahun pengalaman di Indonesia, Prudential menegaskan kembali perannya tidak hanya sebagai penyedia produk perlindungan, tetapi juga sebagai mitra terpercaya dan pelindung bagi generasi saat ini dan mendatang. Komitmen ini sejalan dengan visi jangka panjang Indonesia, Indonesia Emas 2045, termasuk cita-cita membangun masyarakat yang lebih sehat dan tangguh.
Halaman Selanjutnya
Di Indonesia, survei ini mengungkap temuan mengejutkan: 9 dari 10 responden (hampir 93 persen) mengaku menunda perawatan atau mencari layanan kesehatan, dan hampir setengahnya (44 persen) menyatakan mereka berulang kali menunda pengobatan. Penundaan tersebut terutama dipengaruhi oleh tiga faktor utama.