Oleh :Amul Hikmah Budiman, S.S., M.Si (Direktur Eksekutif Saoraja Institute Indonesia)

FAJAR.CO.ID, OPINI — Program Makan Bergizi Gratis (MBG) lahir dengan semangat mulia: menekan stunting, memperbaiki gizi, dan meningkatkan kualitas generasi muda Indonesia. Namun, serangkaian kasus keracunan di berbagai daerah justru menghadirkan ironi. Apa yang seharusnya menjadi solusi, berubah menjadi ancaman baru bagi kesehatan anak-anak di bangku sekolah.

Fenomena ini dapat dibaca melalui teori risiko modern Ulrich Beck, di mana masyarakat semakin sensitif terhadap risiko buatan manusia. Keracunan massal MBG adalah manufactured risk akibat lemahnya pengawasan, rantai pasok, dan standar keamanan pangan. Dari sisi teori fungsionalisme struktural Talcott Parsons, kegagalan MBG menunjukkan adanya disfungsi sosial, lembaga negara gagal menjalankan fungsi protektifnya. Dampaknya adalah krisis legitimasi (Weber) — kepercayaan publik terhadap negara melemah, sementara modal sosial (Putnam) antara masyarakat, sekolah, dan pemerintah ikut tergerus.

Solusi tidak cukup hanya teknis, seperti audit dapur atau sertifikasi pemasok. Diperlukan juga restorasi kepercayaan sosial: transparansi hasil investigasi, kompensasi bagi korban, serta pelibatan komunitas dalam pengawasan. Dengan cara itu, MBG bisa kembali pada tujuan awalnya: memberi gizi, bukan memberi resiko.

Kasus keracunan MBG adalah bentuk risiko buatan akibat kelalaian tata kelola pangan. Kejadian ini memicu ketidakpercayaan publik karena dianggap negara gagal melindungi warganya dari risiko yang seharusnya bisa diantisipasi melalui standar keamanan.
Legitimasi pemerintah modern bertumpu pada rasionalitas-legal, yaitu keyakinan publik bahwa negara mampu membuat kebijakan yang sah, rasional, dan efektif. Kasus MBG justru menggerus legitimasi karena publik melihat program “bergizi gratis” malah menghasilkan penderitaan. Jika legitimasi melemah, masyarakat menjadi skeptis dan resistensi politik dapat muncul.


Tautan Sumber