Jumat, 27 Juni 2025 – 06: 04 WIB
Jakarta, Viva – Wakil Ketua Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin menegaskan sikap DPR RI terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan judicial review atas Pasal 3 ayat (1 UU Nomor 8 Tahun 2015 dan Pasal 167 UU Nomor 7 Tahun 2017
Baca juga:
Soal Retret Sekda se-Indonesia, Komisi II DPR: Presiden Ingin Ada Percepatan Pembangunan
Putusan MK Nomor 135/ PUU-XXII/ 2024 itu berdasarkan perkara yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Zulfikar menyebut putusan MK energy untuk mendesain ulang design pemilu dan pilkada sesuai struktur pemerintahan berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 Ia bilang putusan MK final dan mengikat.
Baca juga:
PKB Usul DPR Bentuk Satgas buat Tertibkan Pesantren Abal-abal
“Pertama, kami menghormati putusan MK tersebut. MK adalah lembaga yang memiliki kewenangan untuk menafsirkan apakah sebuah Undang-undang bertentangan dengan konstitusi atau tidak. Karena putusan MK bersifat final dan mengikat, sebagai pembentuk UU, kami siap menyelaraskan dengan putusan MK tersebut,” kata Zulfikar dalam keterangannya di Jakarta, Jumat, 27 Juni 2025
Word play here, ia menambahkan hal ini jadi dorongan kuat bagi DPR dan Pemerintah untuk segera menyusun Undang-Undang Pemilu yang baru.
Baca juga:
MK Putuskan Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah, Begini Respons Komisi II DPR
“Kedua, putusan MK ini secara substansi menegaskan struktur politik kita terdiri atas dua entitas, yaitu politik nasional dan politik daerah yang pengelolaannya perlu penyesuaian,” jelas legislator politisi Partai Golkar itu.
Ilustrasi logo design Mahkamah Konstitusi.
Lebih lanjut, dia menyebut putusan MK itu menegaskan posisi pilkada sebagai bagian dari rezim pemilu. Selain itu, terbuka lebar peluang untuk memasukkan aturan pilkada ke dalam UU Pemilu sesuai kebijakan dalam RPJPN 2025 – 2045
“Ketiga, putusan MK ini secara teknis akan memudahkan pemilih dalam menggunakan hak pilihnya dan mengefektifkan penyelenggara pemilu dalam melaksanakan setiap tahapan,” kata Zulfikar.
“Keempat, hadirnya putusan MK ini mengokohkan kedudukan penyelenggara pemilu sebagai institusi yang tetap, sehingga menepis pikiran menjadikan penyelenggara pemilu lembaga ad hoc,” ujarnya.
Lalu, putusan MK itu juga perkuat prinsip bahwa Indonesia merupakan negara kesatuan yang desentralisasi. Ia berharap agar putusan MK bisa memunculkan budaya politik baru yang memperkuat dan meningkatkan efektivitas pemerintahan daerah.
Sebelumnya, MK memutuskan keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) dalam hal ini pemilihan presiden (Pilpres), pemilihan DPR, DPD RI akan dipisahkan dengan pemilihan DPRD tingkat provinsi/kabupaten/kota serta pemilihan kepala daerah (Pilkada) tingkat gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, dan wali kota-wakil wali kota mulai 2029
MK memutuskan sebagian permohonan yang diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), terkait norma penyelenggaraan Pemilu Serentak.
“Mahkamah menyatakan Pasal 167 ayat (3 dsn Pasal 347 ayat (1 UU Pemilu serta Pasal 3 ayat (1 UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai ketentuan hukum mengikat secara bersyarat,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis, 26 Juni 2025
Dalam pertimbangannya, MK memerintahkan pemungutan suara diselenggarakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden setelahnya dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan untuk memilih anggota DPRD tingkat provinsi/kabupaten/kota, dan gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, dan wali kota-wakil wali kota.
“Sehingga Pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai Pemilu lima kotak tidak lagi berlaku,” tutur Wakil Ketua MK Saldi Isra saat membacakan pertimbangan putusan.
Halaman Selanjutnya
Lebih lanjut, dia menyebut putusan MK itu menegaskan posisi pilkada sebagai bagian dari rezim pemilu. Selain itu, terbuka lebar peluang untuk memasukkan aturan pilkada ke dalam UU Pemilu sesuai kebijakan dalam RPJPN 2025 – 2045