Jakarta, Viva — Pengungkapan terhadap pelaku penghasutan oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda City Jaya yang dimulai dari rangkaian kegiatan penyelidikan dan penyidikan, sampai dengan penetapan tersangka temasuk upaya paksa berupa penangkapan tidak dapat dimaknai sebagai ancaman kebebasan sipil, atau bentuk pengambinghitaman dengan membangun narasi adanya pelanggaran prinsip proses hukum
Baca juga:
Sejumlah Pasal Pada RUU Perampasan Aset Disebut Perlu Diperkuat
Hal in diungkap Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Alpi Sahari. Menurutnya, kebebasan sipil pada supremasi sipil di dalam jatuh tempo proses hukum Tidak diizinkan untuk membahayakan kepentingan umum, termasuk pelanggaran terhadap hak -hak anak yang dijamin oleh hukum.
“Sehingga kebebasan sipil harus dibedakan dengan penegakan hukum yang bertujuan demi melindungi kepentingan umum dan penjaminan hak-hak anak atas adanya pelanggaran hukum,” katanya.
Baca juga:
Demo Berujung Penjarahan, NasDem Usul Pemerintah Usut Dugaan Makar
Seorang wanita bernama Laras Faizati yang membakar Mabes Poli
Alpi mengatakan, tindakan penangkapan yang dilakukan oleh penyidik Kepolisian didasarkan pada prinsip hukum pidana yang dianut di Indonesia yakni TIDAK Pelanggarannya bukan hukuman tanpa legalitas dan Kontrol Kejahatan model, sebagaimana dimaksud dalam KUH Pidana dan KUHAP yang dalam penerapannya tentunya membatasi hak-hak sipil, artinya agar hak-hak sipil tidak dibatasi oleh hukum maka jangan melakukan pelanggaran atau kejahatan.
Baca juga:
Wamenhan: Jangan Biarkan Penunggang Bikin Negara Kacau
“Di dalam dalil mengemukakan bahwa ‘keinginan perubahan suatu keadaan harus dimulai dari perubahan diri sendiri (innallaha la yughayyiru bi qoumin hatta yugairu ma biamfusihim)’,” ujarnya.
Lebih lanjut, Alpi mengemukakann bahwa pemahaman prinsip ekuitas diikuti oleh hukum (step-by-step) harus diluruskan, yakni di dalam mekanisme hukum pidana terkait pengawasan straight untuk menghindari adanya bentuk kesewenang-wenangan dalam penegakan hukum.
“Maka hal ini telah diatur di dalam peraturan perundang-undang (lex) sehingga seharusnya mekanisme ini yang dilakukan sebagai implementasi prinsip jatuh tempo proses hukum dan jangan membangun narasi adanya ancaman terhadap kebebasan sipil,” kata Alpi yang juga pernah dihadirkan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia untuk memberikan keterangan ahli di Mahkamah Agung Republik Indonesia pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas adanya pengajuan Peninjauan Kembali (PK) oleh terpidana Jesicca Wongso.
Selanjutnya, tambahnya, jatuh pace proses hukum dalam hukum pidana menitiberatkan pada kejahatan kontrol model dan proses hukum design, sehingga narasi penegakan hukum sebagai pola pengambinghitamkan terlalu dini.
Hal ini dapat dimaknai ditujukan untuk mengambil simpati publik yang dikhawatirkan sebagai upaya mendegradasi institusi Kepolisian, yang menjalankan tugas Negara untuk menjaga ketertiban umum sebagai kebutuhan masyarakat dalam bingkai NKRI.
Penyidik pada Ditreskrimum Polda Metro Jaya, katanya, dalam penegakan hukum terhadap pelaku penghasutan memiliki kepentingan untuk melindungi kepentingan umum dan anak korban berdasarkan pos dibuat ( hak untuk mengatur adalah bukti awal.
“Bukti permulaan yang cukup dan bukti yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/ PUU-XII/ 2014 yang dimaknai pemenuhan minimum bukti berupa kuantitas bukti yang memiliki relevansi dengan tindak pidana terhadap pelaku atas pebuatan yang dilakukan ( kriminalitas fakta yang dilarang menjadi fakta ,” ucapnya.
Penyidik Ditreskrimum Polda City Jaya menerapkan Pasal 160 KUH Pidana dan atau Pasal 87 Jo Pasal 76 H Jo Pasal 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan atau Pasal 45 A ayat (3 Jo Pasal 28 ayat (3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang ITE.
Penerapan Pasal-Pasal ini menandakan adanya bentuk Eendadse kebetulan atau Samenloop multi -beding Dalam hal tidak adadivora karekteristiknya memperhatikan prinsip Lex Special melawan Hukum Khusus , Hukum Khusus sistematis dan Hukum Hukum Menghancur Konsumsi yang mana hal ini berbeda dengan Samenloop multi -beding
Arti menghasut (Opruien) harus terganggu dari bergerak, mengatur atau mencoba untuk bergerak. Hasutannya adalah membuat orang tertarik, bernafsu, atau basah kuyup, sehingga mereka melakukannya.
“Dalam arti secara umum tujuan penghasutan adalah agar orang lain melakukan tindak pidana untuk melakukan suatu pelanggaran, artinya pelaku tersebut melakukan suatu penghasutan baik dengan tulisan atau dengan tulisan, yakni agar orang lain melakukan sesuatu tindak pidana atau melanggar ketentuan perundang-undangan sebagai akibat dari perbuatan menghasut,” ujarnya.
Alpi mengatakan, dalam hal ini tidak dipersoalkan apakah ada upaya dari si penghasut seperti halnya pada penggerakan tersebut dalam Pasal 55 KUH Pidana.
Dalam kamus Bahasa Indonesia tindakan penghasutan adalah suatu perwujudan untuk membangkitkan hati orang supaya marah (untuk melawan atau memberontak).
Sementara itu menurut Black’s Legislation Dictionary menghasut diartikan sebagai “justification” yaitu “something (such as word or activity) that influences a person’s factor and self-control, esp.causing the person to commit a criminal offense impulsively”.
Menurut R. Soesilo, itu berarti mendorong, mengundang, membangkitkan atau membakar orang untuk melakukan sesuatu. Dalam kata “menghasut” sifat “sengaja”. Hasutannya lebih sulit daripada “menggoda” atau “persuasi”, tetapi tidak “memaksa”.
“Delik ini dipandang sudah sempurna, apabila seseorang itu mengeluarkan kata-kata penghasutan. Jadi tidak harus sudah terjadi suatu tindak pidana, namun pasca putusan Mahkamah Konstitusi bahwa untuk selesalainya perbuatan menghasut adalah sudah terjadi suatu tindak pidana. Pasca Putusan MK Nomor 7/ PUU-VII/ 2009, maka Jaksa harus bisa membuktikan adanya hubungan kausalitas antara perbuatan penghasutan dengan timbulnya akibat yang dilarang,” katanya.
Halaman Selanjutnya
Lebih lanjut, ia menambahkan, due process of legislation dalam hukum pidana menitiberatkan pada crime control model dan due procedure model, sehingga narasi penegakan hukum sebagai pola pengambinghitamkan terlalu dini.