Jumat, 15 Agustus 2025 – 10: 49 WIB
Jakarta, Viva — Ketua DPR RI Puan Maharani mengkritisi sistem demokrasi dan pemilihan umum (pemilu) di Indonesia.
Baca juga:
Puan Singgung Bendera One Item, #KaburAjaDulu hingga Konoha di Sidang DPR: Ini Keresahan Rakyat
Kata Puan, pemilu sering kali dipengaruhi oleh campur tangan dan buah tangan. Padahal, masing-masing individu di negeri ini telah memiliki garis tangannya sendiri.
Kritik itu disampaikan Puan dalam sidang tahunan MPR RI 2025 di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Jumat, 15 Agustus 2025 Turut hadir dalam sidang tahunan, Presiden RI Prabowo Subianto dan Presiden ke- 7 RI, Joko Widodo (Jokowi).
Baca juga:
Di Sidang Tahunan MPR, Puan Soroti ‘Indonesia Gelap’ hingga ‘Bendera One Item’
“Saat ini, demokrasi dalam Pemilu kita, selain ditentukan oleh garis tangan, juga sering dipengaruhi oleh campur tangan dan buah tangan. Kita semua memiliki garis tangan– nasib dan kesempatan yang diberikan oleh Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa,” kata Puan.
“Tetapi, tidak semua dari kita memiliki kemampuan yang sama untuk ikut campur tangan dan memberikan buah tangan dalam menentukan arah demokrasi,” sambungnya.
Baca juga:
Puan Maharani di Sidang Tahunan MPR: Ibu Megawati Saya Wakili Keberadannya
Puan menilai, sistem yang telah rusak ini menjadi kritik sekaligus otokritik terhadap demokrasi dalam Pemilu Indoensia yang sudah keluar jalur.
Alasannya adalah bahwa demokrasi bukanlah demokrasi intervensi dan hands-tetapi sebuah demokrasi yang memberikan kesempatan bagi semua warga negara. Mari kita bangun dengan demokrasi yang menghidupkan kembali harapan rakyat.
“Demokrasi yang tidak berhenti di bilik suara, tetapi terus tumbuh di ruang-ruang dialog, di dapur rakyat, di balai desa, hingga di gedung parlemen– agar setiap keputusan lahir dari kesadaran bersama, bukan hanya kesepakatan segelintir elite,” jelas dia.
Dalam sebuah demokrasi, rakyat harus memiliki ruang yang luas untuk berserikat, berkumpul, menyatakan pendapat kritik.
“Kini, kritik rakyat hadir dalam berbagai bentuk yang kreatif dan memanfaatkan kemajuan teknologi, khususnya media sosial, sebagai corong suara publik,” pungkas Puan.
Halaman Selanjutnya
“Demokrasi yang tidak berhenti di bilik suara, tetapi terus tumbuh di ruang-ruang dialog, di dapur rakyat, di balai desa, hingga di gedung parlemen– agar setiap keputusan lahir dari kesadaran bersama, bukan hanya kesepakatan segelintir elite,” jelas dia.