
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Guru Besar Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Prof. Sri Raharjo, menilai akar persoalan kasus keracunan pada program Makan Bergizi Gratis (MBG) terletak pada lemahnya pengawasan dan besarnya target yang ingin dicapai dalam waktu yang singkat.
Sejak diluncurkan pada Januari 2025, program MBG tercatat telah menyebabkan ribuan siswa mengalami keracunan di berbagai wilayah. Alih-alih meningkatkan status gizi siswa, kejadian ini justru mengundang atensi yang mempertanyakan kesiapan pengelolaannya.
Menurut Prof. Sri Raharjo, target pemerintah untuk menyasar 80 juta siswa pada tahun pertama, seperti yang disampaikan Presiden Prabowo di Istana Negara, merupakan langkah yang terburu-buru.
“Istilahnya too much too soon, apalagi membangun 30 ribu unit dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) membutuhkan biaya, tenaga, dan sistem yang tidak kecil,” ujarnya dilansir dari situs resmi UGM, Senin (29/9/2025).
Ia menekankan bahwa pemerintah seharusnya fokus pada kualitas dan keamanan pangan yang menjamin keamanan setiap porsi.A Adanya kasus keracunan berulang terjadi karena fungsi pengawasan yang sejak awal tidak berjalan baik.
Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai lembaga baru dinilai belum memiliki cukup sumber daya manusia, sementara SPPG juga belum siap secara menyeluruh.
“Jika siswa yang ditargetkan semakin banyak, jumlah SPPG semakin hari juga semakin banyak, tetapi pengawasannya tetap lemah, hal ini relevan dengan kasus keracunan yang meningkat. Apalagi memasak ribuan porsi dalam waktu singkat berpotensi membuat makanan yang tidak matang merata hingga risiko adanya zat beracun dan bakteri patogen yang masih hidup,” paparnya.
Tautan Sumber