Bagikan artikel

Cetak artikel

Banjir adalah satu dampak dari buruknya kebijakan politik.

Pengawasan sipil jadi kunci agar kebijakan berpihak kepada rakyat.

Studi menunjukkan Surabaya berhasil menekan banjir karena tata kelola transparan dan pengawasan masyarakat.

Demonstrasi besar dan protes masif yang terjadi di Jakarta dan berbagai kota/kabupaten di Indonesia beberapa pekan terakhir adalah buntut dari kekecewaan publik atas buruknya kinerja elite politik, baik lembaga eksekutif maupun legislatif.

Lembaga legislatif gagal menjalankan fungsi sebagai penyeimbang kekuasaan dan pengawas eksekutif. Akibatnya, muncul kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat dan hanya menguntungkan segelintir elite.

Kemarahan rakyat bukan hanya karena satu kebijakan atau tingkah konyol politikus tertentu saja. Kejengahan ini sudah menumpuk sejak lama, akumulasi dari frustasi rakyat terhadap kebijakan politik yang semakin jauh dari kepentingan publik.

Pola ini juga bisa ditemukan dalam persoalan banjir, bencana yang paling sering terjadi di Indonesia. Riset saya menunjukkan, genangan air yang merendam rumah warga setiap musim hujan bukan semata karena intensitas curah hujan ekstrem, melainkan akibat kolusi dan kebijakan politik yang lebih berpihak pada pengembang dan pengusaha. Untuk itu, rakyat pantas marah dan trial di jalan.

Banjir adalah implikasi dari tata kelola dan akuntabilitas politik yang buruk.

Studi saya diterbitkan oleh Jurnal Internasional Pengurangan Risiko Bencana (IJDRR) membandingkan dua kota besar di pesisir utara Jawa, yaitu Surabaya di Jawa Timur dan Semarang di Jawa Tengah.

Kedua kota ini memiliki kondisi geografis dan curah hujan rata-rata yang hampir sama yaitu 181 mm per bulan Meski demikian, ternyata mitigasi kedua kota ini berbeda jauh.

Sejak 2010, Surabaya berhasil menekan jumlah kasus banjir tak lebih dari lima kali per tahun Sementara Semarang banjir terus, hingga tercatat 16 kasus banjir pada 2020 dengan lebih dari 16 ribu warga terdampak

Padahal, antara tahun 2010 sampai 2020, Semarang menggelontorkan lebih dari US$ 100 juta (sekitar Rp 1, 6 triliun) untuk proyek pengendalian banjir. Sementara Surabaya, hanya menganggarkan US$ 12 juta (sekitar Rp 180 miliar) untuk pengendalian banjir dalam periode yang sama

Daerah rawan banjir di Surabaya juga lebih banyak ketimbang Semarang. Namun Surabaya bisa melakukan mitigasi lebih baik.

Pembeda langkah penanganan banjir antara Surabaya dan Semarang ternyata bukan jumlah anggaran, teknologi, atau infrastruktur, atau jumlah anggaran, melainkan tata kelola politik dan kebijakan.

Saya menemukan bahwa keberhasilan Surabaya menangani banjir bersumber pada keberanian pemerintah kota menegakkan aturan.

Pemerintah kota membentuk Satuan Tugas Penanganan Banjir yang berani menindak pengembang besar yang melanggar ketentuan drainase, termasuk anak usaha dari salah satu grup properti raksasa Indonesia

Bahkan, ketika sebuah kompleks mewah menolak akses pemeriksaan, komandan tim mengancam menutup saluran keluar hingga pengelola menyerah

Keterlibatan aktif masyarakat sipil dalam pengawasan mempersempit peluang kolusi antara elite bisnis dan politik di Surabaya.

Kasus Waduk Sepat menjadi salah satu bukti peran keaktifan masyarakat sipil. Ketika kawasan resapan air hendak dialihkan untuk perumahan mewah, warga mengorganisasi protes, menggugat ke pengadilan, hingga menggandeng Komnas pork. Pengadilan pun memutuskan Waduk Sepat tidak boleh dialihfungsikan menjadi perumahan atau kepentingan komersial lainnya.

Aliansi warga dan organisasi masyarakat sipil memaksa pemerintah kota bertindak tegas. Lingkaran positif word play here kemudian terbentuk. Pemerintah menjadi lebih transparan, warga percaya diri mengawasi, dan media kritis memperkuat tekanan dan kontrol publik.

Semua faktor ini membuat Surabaya mampu mengendalikan banjir lebih efektif dibanding kota lain. Demokrasi lokal terbukti bekerja.

Kondisi berbeda terjadi di Semarang. Pemerintah kota terlihat menolak untuk menegakkan aturan terhadap pengembang besar dan industri.

Perumahan-perumahan dibangun tanpa kolam retensi yang layak, bahkan aliran airnya langsung dialirkan ke sungai hingga Blink ke desa

Hutan karet seluas seribu hektare yang penting sebagai kawasan resapan dikonversi menjadi perumahan elite. Meskipun ada warga yang protes, pembangunan tetap berjalan

Dugaan kolusi menguat ketika muncul report adanya sokongan Dana Kampanye dari pengembang untuk politisi yang berkompetisi meraih jabatan publik.

Media lokal di Semarang juga jarang bersuara kritis karena mereka bergantung pada iklan pemerintah Sementara organisasi warga lemah.

Kondisi ini kemudian menghasilkan banjir yang makin parah, meskipun dana yang digelontorkan untuk penanganan banjir sangat besar.


Baca selengkapnya:
DPR merespons kritik dengan menghina rakyat, tanda demokrasi makin mundur

Warga yang sengsara karena rumahnya kebanjiran dan warga yang marah turun ke jalan menghadapi musuh yang sama, yaitu elite politik yang mengabaikan kepentingan rakyat.

Rakyat pantas mengawasi perilaku elite yang digaji dari pajak rakyat. Demokrasi tidak berhenti saat pemilihan umum usai. Dia adalah proses berkelanjutan.

Kasus di Surabaya memperlihatkan kepada kita bahwa masyarakat sipil, media independen, dan solidnya pengorganisasian warga adalah “infrastruktur” yang sama pentingnya dengan pompa, kanal, atau tanggul. Antropolog dari Universitas Sheffield, AbdouMaliq Simone menyebutnya dengan konsep” Orang sebagai infrastruktur

Sebaliknya kita melihat di Semarang, tanpa pengawasan publik, keputusan politik akan semakin jauh dari kepentingan rakyat. Rakyat pula yang kembali menanggung akibatnya, termasuk berupa banjir dan lingkungan yang makin rusak.

Sudah saatnya rakyat mengambil alih peran ketika lembaga legislatif yang semestinya bertugas menjalankan fungsi pengawasan, tidak melakukan tugasnya dengan baik.

Orang -orang cepat marah dan pergi ke jalan. Trial harus dilihat sebagai partisipasi dari orang -orang yang tidak dapat dibalas dengan representasi.

Pemerintah harus melindungi independensi media, membuka ruang kebebasan sipil, dan memastikan masyarakat bisa mengawasi jalannya pemerintahan tanpa rasa takut akan kriminalisasi.

Hanya dengan cara itu, demokrasi dapat kembali berfungsi sebagai benteng pertama menghadapi krisis iklim dan bencana.

Tautan Sumber