Jumat, 25 Juli 2025 – 16: 32 WIB
Jakarta, Viva — Deputi Bidang Statistik Sosial Badan Pusat Statistik (BPS), Ateng Hartono mengatakan, pihaknya saat ini turut menyoroti fenomena ‘Rojali’ alias Rombongan Jarang Beli, sebagai cerminan adanya tekanan ekonomi pada kelompok rumah tangga tertentu.
Baca juga:
Warga Miskin Jakarta Bertambah 15, 8 Ribu Orang, Apa Pemicunya?
Rojali merupakan istilah bagi sebagian masyarakat yang kerap mengunjungi pusat perbelanjaan, namun tidak melakukan pembelian atau transaksi ekonomi di tempat tersebut.
Meskipun di sisi lain, fenomena itu menurut Ateng juga bisa dilihat sebagai sebuah gejala sosial dari sebagian masyarakat, yang sekadar ingin melakukan penyegaran (refresh) dengan mengunjungi pusat-pusat perbelanjaan tersebut.
Baca juga:
Rasio Gini Turun ke 0, 375, BPS: Ketimpangan di Perkotaan Lebih Tinggi dari Desa
Pengunjung shopping mall panik keluar gedung saat melihat kepulan asap
- VIVA.co.id/ Galih Purnama (Depok)
“Fenomena Rojali memang belum tentu mencerminkan tentang kemiskinan. Tapi ini relevan sebagai sebuah gejala sosial, dan bisa jadi juga ada (yang melakukannya) untuk refresh atau cerminan dari tekanan ekonomi terutama pada kelas yang rentan,” kata Ateng dalam konferensi pers, Jumat, 25 Juli 2025
Baca juga:
Tembus 12, 56 Juta Jiwa, Orang Miskin RI Terbanyak ‘Ngumpul’ di Pulau Jawa
Pengunjung di Grand Mal 21
- VIVA.co.id/ Adinda Permatasari
Pengunjung di Grand Mal 21
Information Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2025 melaporkan, kelompok masyarakat 20 persen teratas atau masyarakat terkaya, saat ini memang terlihat mulai menahan konsumsi mereka.
Tercatat, kontribusi masyarakat terkaya itu hanya mencapai 45, 56 persen, dari total pengeluaran nasional per Maret 2025 Nyatanya angka ini tercatat anjlok dibandingkan periode September 2024 yang mencapai sebesar 46, 24 persen, serta lebih rendah dari catatan di Maret 2024 yang mencapai 45, 91 persen.
“Data Susenas 2025 itu juga mencatat bahwa saat ini kelompok atas memang agak menahan konsumsinya,” ujarnya.
Meskipun data soal masyarakat atas yang disebut-sebut tengah menahan belanja itu belum tentu berdampak langsung terhadap angka kemiskinan, Ateng menegaskan bahwa fenomena ini sangat penting untuk dikaji oleh pemerintah. Tujuannya guna mendesain ulang arah kebijakan yang lebih berorientasi kepada masyarakat.
Pengunjung Senayan City tak bisa keluar mal karena kericuhan massa pendemo.
Sehingga, selain fokus untuk menurunkan kemiskinan ekstrem, pemerintah juga bisa tetapi tetap menjaga ketahanan konsumsi dan stabilitas ekonomi rumah tangga kelas menengah bawah.
Ilustrasi pusat perbelanjaan atau mal.
“Jadi memang Rojali ini merupakan sebuah sinyal penting bagi para pembuat kebijakan, untuk tidak hanya fokus menurunkan angka kemiskinan. Tapi juga memperhatikan soal ketahanan konsumsi dan stabilitas ekonomi rumah tangga pada kelas menengah bawah,” ujarnya.
Halaman Selanjutnya
“Information Susenas 2025 itu juga mencatat bahwa saat ini kelompok atas memang agak menahan konsumsinya,” ujarnya.