Selasa, 3 Juni 2025 – 15: 50 WIB

Yogyakarta, Viva – Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir menanggapi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pendidikan gratis oleh sekolah negeri maupun swasta. Menurut dia, implementasi Putusan MK harus saksama dan berpijak pada realitas dunia pendidikan di Indonesia.

Baca juga:

Sri Mulyani Pelajari Putusan MK Gratiskan Biaya SD-SMP Swasta

“Implementasi dari (putusan) MK itu harus saksama, komprehensif, dan tetap berpijak pada realitas dunia pendidikan Indonesia, dimana swasta punya peran strategis,” kata Haedar Nashir di Yogyakarta pada Selasa, 3 Juni 2025

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir (istimewa dok PP Muhammadiyah)

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir (istimewa dok PP Muhammadiyah)

Foto:

  • Viva.co.id/ cahyo edi (yogyakarta)

Baca juga:

Putusan MK soal Biaya SD dan SMP Gratis, DPR: Bisa Jalan Kalau Anggaran MBG Dikurangi

Kata dia, sekolah swasta selama ini menjadi bagian penting sistem pendidikan nasional dan telah memberikan kontribusi besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena itu, menurut dia, negara tidak boleh membuat kebijakan yang justru bisa mematikan keberadaan lembaga pendidikan swasta.

“Kalau kemudian melakukan kebijakan seperti hasil MK kemarin, itu ya harus seksama. Jangan sampai mematikan swasta, yang justru sama dengan mematikan pendidikan nasional,” jelas dia.

Baca juga:

Tindaklanjuti Putusan MK soal SD-SMP Gratis, Mendikdasmen Segera Bahas Anggaran dengan Menkeu Sri Mulyani

Kemudian, Haedar menyinggung soal kemampuan negara dalam menggratiskan seluruh pendidikan dasar, termasuk yang dikelola swasta. Menurut dia, meski konstitusi menetapkan alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN, alokasi itu tersebar ke banyak institusi kenegaraan.

“Apakah Kemendikti dan Kemendikdasmen diberi anggaran yang cukup untuk menanggung seluruh lembaga pendidikan swasta? Sementara swasta juga punya sifat internal dynamics, selalu ingin berkembang,” ujarnya.

Kata Haedar, Muhammadiyah tidak pernah menempatkan lembaga pendidikannya sebagai instrumen bisnis, melainkan sebagai bentuk layanan publik. Karena itu, ia menyayangkan jika ada anggapan bahwa seluruh sekolah swasta berorientasi pada keuntungan.

“Kalau ada satu dua yang berorientasi bisnis, jangan menjadi keputusan konstitusi. Jangan karena ada satu dua gugatan, lalu mudah memenuhi gugatan itu,” ungkap Haedar.

Maka dari itu, Haedar berharap para pemangku kebijakan baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif tidak terburu-buru merespons desakan publik tanpa melihat dampaknya bagi sistem pendidikan nasional secara menyeluruh.

Sementara, kata dia, Muhammadiyah bakal melihat terlebih dahulu arah kebijakan terkait implementasi Putusan MK tersebut.

“Kalau penerjemahannya seperti yang disampaikan oleh Pak Menteri Pendidikan (Mendikdasmen Abdul Mu’ ti) itu hanya payung umum yang operasionalnya tetap seperti sekarang ini, atau ada hal-hal yang berdampak buruk, baru di situ kami akan mengambil kebijakan. Kami tidak akan tergesa-gesa,” katanya.

Lebih lanjut, Haedar mengusulkan untuk implementasi Putusan MK itu ada dua pendekatan agar lembaga pendidikan swasta tetap bisa berkembang sekaligus terjangkau oleh masyarakat.

Pertama, sekolah swasta tetap menyelenggarakan layanan publik bagi masyarakat umum seperti yang dilakukan Muhammadiyah selama ini. Kedua, mengusulkan negara memberi ruang bagi sekolah unggulan swasta untuk berkembang dan menjawab kebutuhan khusus sebagian masyarakat.

“Kita kan tidak pernah mempertentangkan antara golongan atas dan bawah, karena Indonesia tidak menganut Marxisme, ada kelas atas, kelas bawah, ada kelas proletar, ada kelas borjuis, tapi seluruh masyarakat harus terlayani. Berarti kan yang umum terlayani, yang khusus terlayani, itu opsinya,” jelas Haedar.( Ant)

Halaman Selanjutnya

“Kalau ada satu dua yang berorientasi bisnis, jangan menjadi keputusan konstitusi. Jangan karena ada satu dua gugatan, lalu mudah memenuhi gugatan itu,” ungkap Haedar.

Halaman Selanjutnya

Tautan sumber