Senin, 29 Desember 2025 – 15:10 WIB

Jakarta – Dominasi Dolar Amerika Serikat (AS) perlahan mulai tergerus. Selama puluhan tahun, greenback menjadi mata uang utama dalam perdagangan internasional dan cadangan devisa global.

Baca Juga:

Rupiah Berpotensi Melemah Terbebani Kebijakan Ini

Namun, tren baru menunjukkan bahwa negara-negara kini mulai mencari alternatif, baik dalam perdagangan maupun sistem pembayaran lintas batas, untuk mengurangi ketergantungan pada Dolar AS.

Fenomena ini bukan sekadar angka statistik, melainkan gambaran nyata dari pergeseran kekuatan ekonomi dunia. Negara-negara berkembang semakin sering melakukan perdagangan satu sama lain tanpa menggunakan Dolar AS.

Baca Juga:

10 Mata Uang Terlemah di Dunia Tahun 2025, Indonesia Nomor 5!

Contohnya, perdagangan India dan Rusia kini diselesaikan menggunakan Rupee, Dirham, dan Yuan. Bahkan lebih dari separuh perdagangan China kini melalui CIPS, sistem pembayaran lintas batas milik China, menggantikan SWIFT yang lama dikuasai bank-bank Barat.

Beberapa kemitraan lain seperti Brazil-Argentina, UAE-India, dan Indonesia-Malaysia juga sedang menguji penyelesaian transaksi dengan mata uang lokal masing-masing. Dolar AS yang dulunya menjadi tulang punggung cadangan devisa dunia pun mulai kehilangan posisinya.

Baca Juga:

Rupiah Menguat usai BI Laporkan Tingginya Kredit ‘Nganggur’ oleh Perbankan

Melansir dari KabelSenin, 29 Desember 2025, persentase cadangan global yang disimpan dalam Dolar turun dari 72 persen pada 1999 menjadi 58 persen hari ini. Drastisnya pengeluaran fiskal Amerika, defisit diproyeksikan mencapai US$1,9 triliun atau setara Rp31.730 triliun pada 2025, ditambah defisit akun berjalan yang mencapai 6 persen dari PDB.

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS

Ditambah lagi praktik pencetakan uang dalam jumlah besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah, membuat persepsi keamanan Dolar sebagai mata uang cadangan dunia mulai goyah.

Bahkan pasar obligasi AS, yang dulu dianggap paling likuid dan aman, kini menghadapi tantangan serius. Saat ini, lebih dari US$27 triliun atau sekitar Rp450.900 triliun obligasi Treasury beredar di sistem finansial global.

Dengan jumlah sebesar itu, jika terjadi penjualan besar-besaran, tidak ada cukup balance sheet di lembaga keuangan utama untuk menampung penjualan, kecuali jika The Fed campur tangan. Krisis pasar Treasury pada Maret 2020 menjadi bukti bahwa sistem yang tampak stabil sekalipun bisa mengalami kegagalan tanpa intervensi bank sentral.

Namun ancaman terbesar bagi Dolar di 2026 bukan datang dari satu mata uang pesaing, melainkan dari sistem pembayaran alternatif yang dibangun untuk mem-bypass jalur Dolar. Proyek seperti mBridge, yang melibatkan bank sentral China, Hong Kong, Thailand, dan UAE bekerja sama dengan Bank for International Settlements, memungkinkan pembayaran instan antarnegara menggunakan versi digital mata uang nasional masing-masing.

Halaman Selanjutnya

Begitu pula BRICS Pay, yang memungkinkan negara BRICS+ melakukan transfer langsung dengan mata uang mereka sendiri. Stablecoin juga menjadi ancaman potensial bagi dominasi Dolar. Token digital ini memungkinkan pembayaran lintas batas 24/7 dengan biaya rendah, tanpa harus melalui jaringan perbankan tradisional.

Halaman Selanjutnya

Tautan Sumber