Bagikan artikel
Cetak artikel
Gelombang demonstrasi Agustus kemarin menyingkap krisis empati elite politik dan aparat.
Empati merupakan kompetensi inti kepemimpinan, sehingga sangat menentukan kualitas kebijakan publik.
Politisi Indonesia perlu menyeimbangkan empati afektif dan kognitif melalui kebijakan partisipatif dan konsultasi publik.
Gelombang demonstrasi terakhir dengan tuntutan 17 + 8 menjadi bukti bagaimana elite politik dan aparat gagal merespons suara rakyat dengan empati dan kepekaan.
Padahal dalam dunia politik, empati bukan sekadar kompetensi tambahan, melainkan kompetensi inti yang menentukan kualitas kepemimpinan
Baik pemerintah dan elite politik harus memiliki empati karena hanya dengan memahami penderitaan rakyat, mereka dapat merumuskan kebijakan yang adil, mencegah konflik sosial, serta membangun legitimasi ethical di mata masyarakat
Empati bukanlah sebuah istilah baru sebagaimana yang disebutkan oleh Charlie Kirk-tokoh sayap kanan ekstrem Amerika Serikat (AS)- sebagai istilah zaman baru yang dibuat-buat ( Kata-kata buatan hari ini)
Kata ini memiliki akar sejarah panjang yang berawal dari bahasa Jerman, empati yang dalam Bahasa Inggris berarti merasa ke dalam alias “merasakan ke dalam.”
Awalnya, istilah empati dipakai dalam estetika seni di abad ke- 19, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris di tahun 1909 Artinya, empati memiliki sejarah yang mapan, definisinya kompleks, dan manfaatnya jauh melampaui sekadar ‘perasaan’.
Martin L. Hoffman, seorang profesor ahli psikologi perkembangan di New york city University, Amerika Serikat (AS) menekankan bahwa empati merupakan potensi yang sudah ada sejak individu masih bayi, kemudian berkembang karena adanya latihan dalam keseharian
Riset menunjukkan bahwa empati berkembang melalui berbagai tahapan sejak individu lahir.
Bayi yang ikut menangis ketika mendengar bayi lain menangis menunjukkan awal munculnya kemampuan merasakan kesedihan orang lain. Ini disebut sebagai empati afektif ( empati worldwide , yaitu empati yang muncul pada tahun pertama -bayi meniru emosi yang mereka saksikan, tetapi emosinya tidak disengaja dan belum dapat dibedakan.
Kemudian, empati terus berkembang ke tahap yang lebih tinggi. Sebagai contoh, anak prasekolah mulai belajar memahami bahwa orang lain bisa memiliki perasaan berbeda. Saat inilah mulai berkembang kemampuan untuk memahami sudut pandang orang lain yang disebut sebagai empati kognitif
Hingga akhirnya, pada usia 11 – 12 tahun, anak mencapai tahap tertinggi, yaitu empati terhadap pengalaman orang lain di luar situasi
Tahap ini sangat penting karena anak mulai memahami bahwa perasaan orang lain tidak hanya dipicu oleh situasi sesaat, tetapi juga oleh kondisi hidup yang lebih mendalam dan berkelanjutan, seperti kemiskinan atau penindasan.
Empati mereka meluas dari individu terdekat sehingga ke kelompok masyarakat yang menderita, sehingga membentuk kesadaran sosial yang lebih luas.
Dengan kata lain, anak mampu berempati tidak hanya pada individu, tetapi juga pada kelompok yang tertindas atau masyarakat yang menderita, meskipun ia tidak mengenalnya secara individual.
Degree ini penting sebagai dasar kesiapan anak menjadi warga negara yang peduli dan bertanggung jawab terhadap masalah sosial.
Kasus-kasus represif terhadap demonstrasi mahasiswa , kriminalisasi aktivis hingga mengabaikan aspirasi tenaga kerja dan para expert adalah bukti nyata bahwa banyak pengambil keputusan gagal menerapkan empati koginitif, yaitu kemampuan menempatkan diri pada posisi rakyat.
Ini terjadi karena frekuensi dari ‘rasa’ antara penguasa dan rakyat tidak setara (rendahnya empati afektif). Padahal empati itulah yang memberikan kita peringatan akan adanya penderitaan orang lain yang kemudian menggerakkan hati nurani.
Dengan kata lain, kemunculan berbagai fenomena kekerasan sesunggunya mencerminkan bagaimana krisis empati terjadi. Akhirnya, suara rakyat dianggap ancaman, bukan masukan, kritik dipandang sebagai gangguan stabilitas, bukan peringatan penting, dan demonstrasi dilawan dengan aparat, bukan disambut dialog.
Baca selengkapnya:
Komunikasi ‘tone-deaf’ pemerintah: Kritik dianggap ancaman, dialog dibalas candaan
Potensi empati dalam diri individu dapat terkikis bahkan hilang dalam perjalanan waktu. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa ketidakmampuan berempati dapat disebabkan karena pola asuh yang keliru di usia dini, paparan anxiety yang berulang, injury, maupun kondisi kesehatan mental.
Ketidakseimbangan antara empati afektif dan kognitif sehingga sekarang masih terus diperdebatkan oleh para ahli. Para peneliti empati mendapati bukti lebih dalam lagi bahwa ketidakseimbangan antara empati afektif dan empati kognitif lah yang membuat individu menjadi kontraproduktif.
Sebagai contoh dalam kasus kekerasan. Ketidakseimbangan antara empati afektif dan kognitif dapat menempatkan individu menjadi pelaku atau sebaliknya menjadi korban Dan hal ini juga bisa terjadi dalam konteks kepemimpinan.
Individu dengan empati afektif tinggi tapi empati kognitifnya rendah cenderung emosional dalam menghadapi permasalahan. Sebaliknya, empati kognitif yang tinggi tapi rendah empati afektifnya tampak pada individu yang cerdas tapi dingin, bahkan manipulatif.
Hugo Chavez Presiden Venezuela memperlihatkan empati afektif yang kuat lewat kedekatannya dengan rakyat miskin. Namun, keterbatasan empati kognitif membuat kebijakan pro-rakyatnya cenderung emosional dan kurang berkelanjutan.
Sementara itu, Joseph Stalin adalah contoh pemimpin dengan empati kognitif tinggi tapi afektif rendah. Ia cerdas membaca dan memanipulasi lawan politik tetapi dingin dan dikenal sebagai diktator.
Sehingga, sangat penting untuk memiliki empati afektif dan empati kognitif yang seimbang agar melahirkan kepedulian dan tindakan yang tepat sasaran.
Dalam kasus politisi nirempati di Indonesia, pejabat publik tidak bisa bersembunyi di balik alasan karakter pribadi. Mereka perlu melatih kembali dengan cara-cara seperti:
Mewujudkan kebijakan partisipatif dengan cara benar-benar melibatkan warga dalam perumusan kebijakan
Membuka ruang-ruang konsultasi publik yang riil, bukan hanya sekadar formalitas
Memberikan pelatihan empati bagi aparat agar mereka tidak hanya mengandalkan prosedur keamanan dalam bekerja
Melakukan penilaian dampak (penilaian dampak) berbasis manusia, dengan cara mengukur dampak kebijakan terhadap kelompok rentan sebelum dijalankan.
Jika pemimpin mampu mengintegrasikan baik empati afektif maupun kognitif, maka keputusan yang dihasilkan tidak hanya menyentuh hati masyarakat tetapi juga rasional dan tepat sasaran.
Dengan kata lain, kebijakan pemerintah akan menjadi lebih mudah diterima, lebih didukung, serta berfungsi sebagai sarana mempererat hubungan dan membangun kepercayaan antara pengambil kebijakan dan masyarakat.
Baca selengkapnya:
Kegagalan komunikasi pemerintah: Rakyat butuh dialog empatik, bukan represi elitis