El-Fasher memiliki tempat khusus di benak banyak orang Sudan. Bagi mereka, kota ini lebih dari sekadar ibu kota Negara Bagian Darfur Utara di Sudan barat.
Hal ini berakar kuat, secara historis dan budaya, dalam identitas nasional.
Antara kejatuhannya yang pertama pada tahun 1916 di tangan pasukan Inggris dan kejatuhannya yang kedua pada bulan Oktober oleh kelompok paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF), el-Fasher menonjol sebagai pusat spiritual, politik dan sosial.
Akar sejarah dan simbol perlawanan
Sejak age Sultan Ali Dinar (1898 – 1916, el-Fasher telah menjadi pusat ilmu pengetahuan, pendidikan agama, dan warisan spiritual. Itu adalah tempat pembuatan Kiswah, kain hitam yang menutupi Ka’bah di Mekah, Arab Saudi.
Banyak peneliti warisan Sudan berpendapat bahwa setelah berakhirnya kesultanan, dimensi spiritual kota terus membentuk kesadaran kolektif penduduk Darfur.
Kota ini dan Ali Dinar menjadi simbol ketabahan dan perlawanan nasional setelah Inggris menduduki el-Fasher pada bulan November 1916 sebagai bagian dari strategi kolonial mereka untuk menggambar ulang peta politik wilayah tersebut.
Ali Dinar mengorganisir perlawanan terhadap Inggris, tetapi Inggris mengakhiri Kesultanan Darfur yang merdeka dan memaksa integrasinya ke dalam negara Sudan contemporary, yang dibentuk sesuai dengan kepentingan kekuatan kolonial.
https://www.youtube.com/watch?v= 3 YdRZJwAMRI
Semangat perlawanan
Lebih dari satu abad setelah kejatuhan bersejarah itu, el-Fasher kembali jatuh, kali ini ke tangan RSF, yang menurut laporan lokal dan pejabat pemerintah Sudan, menyebut adanya intervensi asing dalam mendukung paramiliter.
RSF telah mengepung kota itu selama lebih dari 18 bulan. Puluhan ribu orang mengungsi, dan menurut Jaringan Dokter Sudan, setidaknya 1 500 orang tewas dalam 48 jam setelah RSF menguasai el-Fasher.
Tatanan sosial yang terancam
Kota ini terkenal karena keragaman suku dan budayanya, dan selama beberapa dekade dipandang sebagai model hidup berdampingan di Darfur. Namun, perang telah menyebabkan keretakan yang mendalam karena adanya peringatan yang dikeluarkan mengenai perubahan demografis yang dipaksakan yang mengancam keseimbangan sosial sejarah kota tersebut.
“Afiliasi suku mulai digunakan sebagai alat dalam konflik, yang menyebabkan rusaknya sebagian hubungan tradisional yang mendasari hidup berdampingan di el-Fasher,” Hussein Adam, peneliti sosiologi dan kandidat doktor di Universitas Bursa di Turkiye, mengatakan kepada Al Jazeera.
“Pergeseran populasi yang disebabkan oleh pengungsian dan migrasi paksa telah mulai mengganggu struktur sosial, berpotensi membentuk kembali identitas kota dengan cara yang tidak dapat diprediksi,” kata Adam, seraya menambahkan bahwa “mengabaikan dimensi sosial dalam penyelesaian politik apa pun dapat menyebabkan konflik yang lebih kompleks di masa depan”.
Bagi banyak orang, jatuhnya el-Fasher telah menimbulkan kepahitan, namun juga menimbulkan rasa ketangguhan dan harapan.
“Setelah musim gugur ini, penembakan mungkin berhenti sementara, tetapi luka masih ada,” kata Sheikh Abdul Rahim Adam, seorang imam yang melarikan diri ke Darfur Barat, kepada Al Jazeera.
“Meskipun menderita, kenangan kami tetap hidup dengan masjid dan sekolah Alquran kami, dan kami akan kembali untuk melindungi warisan kami,” katanya.
“Kota ini akan segera terbebas dari cengkeraman (RSF), dan kami akan terus mendidik anak-anak kami,” kata Fatima Abdul Karim, seorang guru yang mengungsi ke daerah Kurma di sebelah barat el-Fasher, kepada Al Jazeera.
Kota ini adalah … identitas dan martabat. Saya melihat sekolah kami berubah menjadi barak militer, namun kami akan segera membangunnya kembali.”
Perlunya pemulihan
Perang menyebabkan kelumpuhan ekonomi di el-Fasher, dan pasar-pasarnya yang ramai menjadi tempat semi-terbengkalai. Para pedagang berhenti datang dari wilayah lain di Sudan, sehingga menyebabkan meroketnya harga dan kelangkaan barang-barang kebutuhan pokok.
Peneliti sejarah Sudan Ibrahim Saeed Abkar percaya bahwa pemulihan Sudan bergantung pada pemulihan ingatan kolektif dan pengakuan peran sejarah kota-kota seperti el-Fasher.
Abkar menambahkan, perlawanan Ali Dinar merupakan model ketahanan peradaban yang dapat menginspirasi upaya rekonstruksi jika perdamaian tercapai di kawasan.
Banyak pengamat yang menyerukan diakhirinya pertikaian dan dimulainya dialog masyarakat sebelum penyelesaian politik apa pun, dan menekankan bahwa memperbaiki tatanan sosial sama pentingnya dengan rekonstruksi fisik atau solusi politik.
Mereka menekankan bahwa pemulihan memerlukan penanganan luka psikologis dan sosial akibat perang.













