Kamis, 3 Juli 2025 – 10: 24 WIB
Jakarta, Viva — Denny JA menghadirkan heptalogi puisi esai yang mengguncang kesadaran tentang masa lalu. Ketujuh buku itu, kata Denny adalah babak sejarah dan luka kolektif yang selama ini hanya tergores samar dalam buku pelajaran.
Baca juga:
Fadli Zon Dinilai Miliki Inisiatif Sendiri di Penulisan Buku Sejarah
Karya terbaru, “Yang Menggigil dalam Arus Sejarah” (2025, melengkapi serial ini. Berbeda dari enam buku sebelumnya yang fokus pada sejarah Indonesia, buku ketujuh ini melintasi batas negara.
Buku ini menyuarakan korban-korban Revolusi Prancis, Holocaust, pembantaian di Nanking, hingga anak-anak yang menjadi yatim oleh bom di Hiroshima.
Baca juga:
Denny JA Lahirkan Category Lukisan Imajinasi Nusantara
Semua buku ini menggunakan layout khas ciptaan Denny JA yaitu puisi esai, sebuah style baru yang memadukan narasi puitik dengan riset sejarah.
Style ini telah berkembang menjadi gerakan sastra lintas batas, dengan komunitas di seluruh Indonesia dan Asia Tenggara. Ini menjadi schedule utama dalam Event Puisi Esai ASEAN yang kini telah digelar sebanyak empat kali.
Baca juga:
Bertemu Putin, Prabowo Kenang Rusia Bantu Indonesia Ketika Masih Jadi Negara Miskin
“Sejarah resmi menulis pahlawan. Tapi puisi esai menulis korban,” kata Denny JA, saat peluncuran buku ketujuh.
Menurut Penerbit CBI, yang menjadi sumber utama rilis ini, proyek heptalogi ini bukan hanya proyek literer, melainkan arsip nurani kolektif bangsa dan dunia.
Di tengah gempuran informasi digital yang dangkal dan cepat lewat, puisi esai menawarkan ruang perenungan sebuah jeda dan sebuah napas.
Denny word play here menjelaskan mengapa puisi esai penting untuk memahami sejarah. Pertama, menyentuh sisi terdalam manusia. Di saat information dan angka tak mampu meneteskan air mata, puisi hadir sebagai cermin yang merefleksikan luka batin sejarah.
Kedua, memperluas definisi sejarah. Sejarah bukan hanya milik yang menang, tetapi juga milik mereka yang ditinggalkan: perempuan penghibur, anak tanpa negara, eksil tanpa pulang, cinta tanpa ruang.
Ketiga, menghidupkan narasi yang dilupakan. Di tengah gemuruh suara mayoritas, puisi esai memberi tempat bagi suara-suara yang nyaris punah: bisikan Lastri, tangis Lina, dan rindu yang tertinggal di meja makan eksil.
“Sebab kemerdekaan sejati, seperti puisi, adalah keberanian untuk terus mendengarkan yang tak lagi punya suara,” kata Denny JA.
Berikut Tujuh Buku Puisi Esai Denny JA dalam Heptalogi
1 Atas Nama Cinta (2012– Tentang cinta yang kalah oleh diskriminasi
2 Kutunggu di Setiap Kamisan (2018– Tentang diam yang bersuara
3 Jeritan Setelah Kebebasan (2015– Tentang konflik berdarah pasca-reformasi
4 Yang Tercecer di Age Kemerdekaan (2024– Tentang mereka yang tak merdeka saat proklamasi
5 Mereka yang Mulai Teriak Merdeka (2024– Tentang pahlawan sebagai manusia, bukan ikon
6 Eksil yang Tak Bisa Pulang (2024– Tentang mereka yang kehilangan tanah dan nama
7 Yang Menggigil dalam Arus Sejarah (2025– Tentang tragedi worldwide yang membentuk nurani dunia
Halaman Selanjutnya
Di tengah gempuran informasi electronic yang dangkal dan cepat lewat, puisi esai menawarkan ruang perenungan sebuah jeda dan sebuah napas.