Senin, 22 Desember 2025 – 13:10 WIB

Jakarta – Pasar tenaga kerja Amerika Serikat (AS) tengah melambat. Di saat yang sama, teknologi kecerdasan buatan (AI) justru semakin agresif masuk ke proses rekrutmen, mulai dari surat lamaran yang dihasilkan otomatis hingga wawancara tanpa pewawancara manusia.

Baca Juga:

Telkomsel Andalkan AI tapi Tak Mau Terjebak Bubble

Seperti kita tahu, saat ini, cara orang melamar pekerjaan berubah drastis, dan tidak selalu ke arah yang lebih baik. Alih-alih mempermudah pencocokan antara kandidat dan perusahaan, penggunaan AI dalam perekrutan justru memunculkan keluhan dari kedua belah pihak.

Pencari kerja merasa prosesnya dingin dan tidak manusiawi, sementara perusahaan kewalahan menghadapi banjir lamaran yang semakin sulit disaring secara adil.

Baca Juga:

AI Bukan Lagi Fiksi

Lebih dari separuh organisasi yang disurvei oleh Masyarakat untuk Manajemen Sumber Daya Manusia mengaku telah menggunakan AI untuk merekrut pekerja sepanjang 2025. Di sisi lain, sekitar sepertiga pengguna ChatGPT dilaporkan memanfaatkan chatbot OpenAI tersebut untuk membantu pencarian kerja mereka.

Namun, riset terbaru menunjukkan hasil yang ironis. Pelamar yang menggunakan AI dalam proses melamar justru lebih kecil kemungkinannya untuk diterima, sementara perusahaan menerima volume lamaran yang jauh lebih besar.

Baca Juga:

Mata Dunia Tertuju ke Indonesia: Inovasi AI dan Automation Telkomsel untuk Marketing Lebih Canggih dan Tepat Sasaran

“Kemampuan (perusahaan) untuk memilih pekerja terbaik saat ini bisa jadi lebih buruk akibat AI,” kata Anaïs Galdin, peneliti Dartmouth yang ikut menulis studi tentang dampak model bahasa besar (LLM) terhadap surat lamaran, sebagaimana dikutip dari CNNSenin, 22 Desember 2025.

Ilustrasi interview kerja

Galdin bersama rekan penelitinya, Jesse Silbert dari Princeton, menganalisis surat lamaran dari puluhan ribu aplikasi kerja di Freelancer.com. Mereka menemukan bahwa setelah ChatGPT diperkenalkan pada 2022, surat lamaran menjadi lebih panjang dan lebih rapi.

Namun, perusahaan justru semakin tidak menganggap surat lamaran sebagai faktor penting. Akibatnya, pembeda antara kandidat yang benar-benar berkualitas dan pelamar lainnya menjadi kabur. Alhasil, tingkat perekrutan menurun, begitu pula rata-rata gaji awal.

“Jika kita tidak melakukan apa pun untuk memperbaiki aliran informasi antara pekerja dan perusahaan, maka hasilnya akan terlihat seperti ini,” kata Silbert, merujuk pada temuan studinya.

Lonjakan jumlah pelamar membuat perusahaan semakin mengandalkan otomatisasi, termasuk pada tahap wawancara. Survei Greenhouse pada Oktober lalu menunjukkan 54 persen pencari kerja di AS pernah menjalani wawancara yang dipimpin AI.

Halaman Selanjutnya

Wawancara virtual memang melonjak sejak pandemi 2020. Kini, banyak perusahaan menggunakan AI untuk mengajukan pertanyaan. Namun, hal itu tidak otomatis membuat prosesnya lebih objektif.

Halaman Selanjutnya

Tautan Sumber