Beijing, Viva — Dalam beberapa bulan terakhir, sebuah fenomena aneh telah muncul di berbagai platform media sosial dan rumah tangga Tiongkok bahwa kaum muda dengan bangga menyatakan diri mereka sebagai “cucu penuh waktu”.
Baca juga:
Bursa Asia Dibuka Fluktuatif Jelang Rilis Information Ekonomi Penting dari China
Sekilas, label tersebut tampak menyentuh hati, bahkan kuno– sebuah penghormatan terhadap bakti kepada orang tua di masyarakat yang menua.
Namun di balik permukaan, hal itu mengungkap kenyataan yang lebih menyedihkan bahwa kaum muda Tiongkok semakin tersingkir dari pasar tenaga kerja, terpaksa merawat kakek-nenek bukan karena tradisi budaya, tetapi karena kebutuhan ekonomi dan makin menyempitnya peluang.
Baca juga:
Imigrasi Deportasi Warga China Buronan Kasus Penipuan Rp 28, 5 Miliar
Tren ini bukan sekadar keanehan web. Tren ini merupakan simbol dari kelesuan yang lebih mendalam yang melanda ekonomi Tiongkok pascapandemi.
Istilah “cucu penuh waktu” merujuk pada orang dewasa muda yang menganggur atau setengah menganggur– yang sering kali merupakan lulusan perguruan tinggi baru– yang kembali ke rumah keluarga mereka dan menghabiskan hari-hari mereka merawat kakek-nenek lanjut usia.
Baca juga:
Pidato di Tiongkok, Fadli Zon: Kehancuran Gaza Bukan Cuma Tragedi Geopolitik, tapi Bencana budaya dan Kemanusiaan
Sebagai imbalannya, beberapa menerima tunjangan dari keluarga mereka, suatu bentuk dukungan keuangan casual antargenerasi yang mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh ekonomi formal.
Meskipun masyarakat Tiongkok telah lama menjunjung tinggi cita-cita Konfusianisme untuk menghormati orang tua, kebangkitan peran ini saat ini didorong bukan oleh kebangkitan budaya tetapi oleh kondisi ekonomi yang suram.
Menurut data dari Biro Statistik Nasional Tiongkok, pengangguran di kalangan pemuda perkotaan berusia 16 hingga 24 tahun secara resmi mencapai 15, 3 % pada Juni 2024, turun dari puncaknya di atas 21 % pada tahun 2023– tetapi analis dan pengamat independen menunjukkan angka sebenarnya mungkin jauh lebih tinggi, terutama jika memperhitungkan mereka yang sudah menyerah mencari pekerjaan sama sekali.
Krisis Mengakar
Pemerintah Cina, dalam langkah yang kontroversial, berhenti merilis information pengangguran kaum muda untuk sementara waktu pada tahun 2023, dengan alasan perlunya menyempurnakan metodologinya.
Keputusan itu hanya memicu kecurigaan bahwa masalah tersebut lebih besar daripada yang ditunjukkan oleh statistik resmi.
Realitas di lapangan menggambarkan situasi yang memprihatinkan: generasi muda yang berbekal gelar dan literasi digital, kini mendapati diri kurang dimanfaatkan, kecewa, dan bergantung secara ekonomi.
Dampak jangka panjang dari kebijakan nol-COVID Tiongkok sangat mengganggu aktivitas ekonomi dan penciptaan lapangan kerja di berbagai sektor.
Lulusan dari berbagai universitas di China membanjiri pasar kerja dalam jumlah yang memecahkan rekor, namun hanya memperoleh sejumlah posisi yang terbatas, khususnya di industri kerah putih yang diminati.
Pada saat yang sama, tindakan keras Beijing terhadap perusahaan teknologi dan sektor bimbingan belajar– yang secara tradisional menjadi pemberi kerja penting bagi talenta muda– semakin memperketat prospek pekerjaan.
Kemerosotan sektor properti yang berkepanjangan hanya memperparah perlambatan tersebut.
Bagi banyak anak muda Tiongkok, menjadi “cucu penuh waktu” merupakan respons yang kreatif, meskipun enggan, terhadap kondisi ini.
Ini adalah cara untuk mempertahankan tujuan dan struktur meskipun tidak ada pekerjaan yang stabil.
Beberapa orang menemukan penghiburan dalam peran tersebut, menikmati waktu berkualitas dengan kakek-nenek yang sudah lanjut usia dan menggunakan media sosial untuk mendokumentasikan rutinitas harian mereka, seperti memasak, berjalan-jalan di taman, bermain mahjong, mengubah perawatan antargenerasi menjadi tindakan performatif yang dapat diuangkan.
Namun gaya hidup ini, dengan segala daya tariknya, menggarisbawahi hilangnya agensi yang mendefinisikan generasi saat ini.
Piramida Terbalik
Generasi pasca- 90 -an dan pasca- 00 -an di Tiongkok tumbuh di era pertumbuhan pesat dan konektivitas worldwide. Mereka diajari untuk bercita-cita, bersaing, dan berprestasi. Orang tua mereka berkorban besar– secara finansial dan emosional– untuk menjamin pendidikan dan kesempatan mereka.
Melihat aspirasi ini sekarang dialihkan ke tugas-tugas mengurus rumah tangga, yang sering dibingkai dengan ironi atau humor, merupakan dakwaan diam-diam atas kegagalan sistem dalam menyerap warganya yang paling terdidik.
Kontrak generasi sekarang sedang dinegosiasikan ulang, bukan melalui reformasi kebijakan, tetapi melalui pengunduran diri. Dalam masyarakat tradisional Tiongkok, orang tua merawat cucu sementara generasi tengah mencari nafkah.
Saat ini, piramida itu telah terbalik di banyak keluarga, dengan dana pensiun yang membantu menghidupi kaum muda yang menganggur.
Pembalikan ini mungkin menawarkan perlindungan psikologis jangka pendek, tetapi menimbulkan pertanyaan mendesak tentang kelangsungan sosial dan ekonomi jangka panjang dari struktur demografi Tiongkok.
Selain itu, tren “cucu penuh waktu” mencerminkan kecemasan sosial yang lebih luas di kalangan pemuda Tiongkok.
Selama beberapa tahun terakhir, frasa seperti “berbaring datar” dan “membiarkannya membusuk” telah menjadi tren, menandakan semakin besarnya penolakan di kalangan generasi muda untuk berpartisipasi dalam persaingan yang sangat ketat di masyarakat Tiongkok.
Alih-alih mengejar tujuan perumahan yang tidak mungkin tercapai, jadwal kerja yang melelahkan, dan standar kesuksesan yang ditetapkan negara, banyak orang memilih untuk tidak melakukannya sama sekali.
Menjadi seorang cucu penuh waktu hanyalah manifestasi terbaru dari kekecewaan itu. Sikap ini tidak semata-mata lahir dari rasa berhak atau kemalasan, seperti yang mungkin disarankan oleh beberapa narasi media pemerintah.
Hal ini sebagian besar merupakan respons rasional terhadap semakin berkurangnya keuntungan atas investasi– pendidikan, emosional, dan ekonomi.
Meskipun berkuliah di universitas bergengsi dan menguasai beragam keterampilan, banyak lulusan mendapati diri mereka setengah menganggur atau bahkan menganggur total amount. Yang lain menerima pekerjaan sementara dengan gaji rendah, jauh di bawah kualifikasi mereka.
Dalam iklim ini, menawarkan tenaga emosional di rumah dengan imbalan dukungan keluarga dapat tampak seperti pilihan paling bermartabat yang tersedia. Ironisnya, system teknologi yang mendefinisikan ekonomi electronic China telah menjadi katup pelarian dan penguat krisis pemuda.
Aplikasi seperti Douyin (versi TikTok di Tiongkok) dan Xiaohongshu (Buku Merah Kecil) dipenuhi dengan unggahan dari “cucu-cucu purnawaktu” yang mendokumentasikan hari-hari mereka bersama kerabat lanjut usia, mendapatkan pengikut dan, dalam beberapa kasus, sponsor.
Campuran antara keputusasaan ekonomi dan kewirausahaan daring ini mengaburkan batasan antara pengasuhan, pencitraan gaya hidup, dan pemberontakan pasif. Inti dari semuanya adalah rasa perpindahan emosi.
Banyak dari anak muda ini tidak percaya bahwa mereka gagal– mereka merasa telah gagal.
Kontrak sosial implisit– belajar giat, bekerja keras, sukses– telah runtuh. Sebagai gantinya, muncul ketergantungan antargenerasi yang rapuh, yang menutupi ketidakseimbangan sosial yang lebih dalam.
Sementara para pembuat kebijakan dan ekonom memperdebatkan faktor pendorong ekonomi makro dan penyesuaian industri, kaum muda Tiongkok tengah membangun ekonomi mikro mereka sendiri berupa perawatan, konten, dan kelangsungan hidup.
Pilihan mereka untuk menjadi “cucu penuh waktu” bukan sekadar mekanisme bertahan– ini adalah protes diam-diam terhadap sistem yang menjanjikan banyak hal namun hanya memberikan sedikit hasil.
“Cucu penuh waktu” mungkin kiasan yang menawan, bahkan tindakan yang penuh kasih sayang. Namun, ia juga cermin– cermin yang merefleksikan generasi yang terjebak antara mimpi dan kekecewaan, dan sebuah negara yang bergulat dengan harga dari kontradiksinya sendiri.
Halaman Selanjutnya
Menurut data dari Biro Statistik Nasional Tiongkok, pengangguran di kalangan pemuda perkotaan berusia 16 hingga 24 tahun secara resmi mencapai 15, 3 % pada Juni 2024, turun dari puncaknya di atas 21 % pada tahun 2023– tetapi analis dan pengamat independen menunjukkan angka sebenarnya mungkin jauh lebih tinggi, terutama jika memperhitungkan mereka yang sudah menyerah mencari pekerjaan sama sekali.