Kamis, 4 September 2025 – 13: 29 WIB
Jakarta, Viva — Gelombang aksi massa yang berlangsung sejak akhir Agustus 2025 meninggalkan catatan kelam bagi masyarakat Indonesia. Aksi yang semula digelar secara damai justru berujung pada kericuhan, kerusakan fasilitas umum, hingga menelan korban jiwa.
Baca juga:
Ajakan Bakar Mabes Polri, Pegawai Kontrak Lembaga Internasional Jadi Tersangka
CEO Malaka Task, Ferry Irwandi, dalam sebuah talkshow di stasiun televisi nasional memaparkan analisis tajam soal penyebab utama demonstrasi bisa berubah brutal. Menurutnya, ada dua faktor besar yang memicu kondisi tersebut.
“Kalau kita bicara penyebab, ada dua hal. Pertama tindakan aparat, kedua perilaku massa. Ini yang harus kita baca secara hati-hati,” ujar Ferry dikutip tvOne.
Baca juga:
Golkar, frying pan dan Nasdem Kompak Minta Penghentian Gaji dan Tunjangan DPR yang Non-Aktif
Korban Jiwa Bukan Sekadar Angka
Ferryboat menekankan bahwa tragedi yang menimpa para peserta aksi tidak bisa dianggap remeh. Ia mengungkapkan bahwa sejak 25 Agustus hingga awal September 2025, sudah ada korban meninggal dunia akibat gelombang unjuk rasa.
Baca juga:
Fitur Live Aktif Lagi di Indonesia, TikTok Janji Jadi Ruang Aman Berekspresi
“Sejak 25 Agustus sampai sekarang, ada sembilan orang meninggal. Itu bukan sekadar angka, itu nyawa manusia. Ada luka yang tidak akan pernah hilang bagi keluarga mereka,” katanya dengan nada serius.
Menurut Ferry, setiap kehilangan nyawa dalam sebuah aksi protes harus menjadi alarm system keras bagi negara. Hal itu menandakan adanya persoalan mendasar dalam tata kelola keamanan di lapangan, baik dari aparat maupun dari pihak massa.
Kritik terhadap Tindakan Aparat
Dalam analisanya, Ferryboat menyinggung kasus di Bandung ketika aparat menembakkan gas air mata hingga masuk ke area kampus. Baginya, tindakan itu sama sekali tidak bisa dibenarkan.
“Apa word play here alasannya, penembakan gas air mata ke dalam kampus tidak bisa dibenarkan. Kampus adalah ruang akademik, bukan sector perang,” ucapnya.
Ia menilai langkah aparat semacam itu hanya akan memperlebar jarak antara negara dengan masyarakat, khususnya mahasiswa yang sedang menyuarakan aspirasi mereka.
Bedakan Mahasiswa dengan Massa Anarkis
Meski mengkritik keras aparat, Ferryboat juga menyoroti perilaku harsh sebagian massa yang ikut memperkeruh situasi. Menurutnya, penting untuk membedakan kelompok mahasiswa yang membawa tuntutan dengan kelompok lain yang melakukan aksi anarkis.
“Kita tidak bisa menyamakan semuanya. Ada mahasiswa yang menyampaikan tuntutan, dan ada juga massa yang berbuat anarkistis. Itu dua hal berbeda,” jelasnya.
Dengan pemetaan yang tepat, ia menilai pemerintah bisa mengambil langkah bijak dalam mengelola aksi massa tanpa harus mengorbankan prinsip demokrasi.
Pentingnya Membaca Situasi dengan Tepat
Di penghujung analisanya, Ferry memberikan peringatan serius kepada pemerintah dan aparat terkait cara membaca situasi aksi massa.
“Kalau masalah dasarnya salah dibaca, maka penyelesaiannya juga akan melenceng. Ini yang harus hati-hati, karena menyangkut kepercayaan publik dan nyawa orang,” ungkap Ferryboat.
Baginya, mengelola aksi tidak cukup hanya dengan pendekatan keamanan semata. Diperlukan empati, pemahaman menyeluruh, dan ruang dialog yang terbuka agar tragedi serupa tidak kembali terulang.
Halaman Selanjutnya
Kritik terhadap Tindakan Aparat