Bagikan artikel
Cetak artikel
Lonjakan kasus diabetes di Tanah Air terjadi akibat kegagalan sistem kesehatan hingga ketimpangan layanan antardaerah.
Kerja sama pemerintah dengan lembaga filantropi asing, tidak mampu menutup kesenjangan layanan diabetes.
Pemerintah perlu melirik lembaga filantropi dan sektor swasta lokal untuk mendukung layanan diabetes di Indonesia.
Penyakit diabetes kian menghantui masyarakat dan menjebol sistem kesehatan kita. Pada 2024, jumlah orang dengan diabetes di Indonesia mencapai 20,4 juta orang.
Anggaran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk membiayai kasus diabetes pun membengkak, sekitar US $ 576 juta (setara Rp9,4 triliun) pada 2022.
Rata-rata, peserta JKN dengan diabetes bisa menghabiskan biaya perawatan dan pengobatan lebih dari Rp2,3 juta per orang.
Salah satu penyebab lonjakan kasus diabetes di Indonesia adalah kegagalan sistem kesehatan kita dalam deteksi dini dan manajemen penyakit. Selain itu, rendahnya literasi kesehatan masyarakat menyebabkan pasien tidak disiplin berobat.
Belum lagi, ketimpangan layanan kesehatan antara perkotaan dengan pedesaan menyebabkan pasien diabetes kian kesulitan mengelola penyakitnya.
Pemerintah sebenarnya sudah berupaya mengatasi kesenjangan layanan diabetes dengan menggandeng lembaga filantropi asing. Di antaranya ada World Diabetes Foundation (WDF) dan raksasa farmasi asal Denmark, Novo Nordisk, melalui program Mengubah diabetes pada anak -anak (CDIC).
Program filantropi selama ini berperan sangat penting dalam mendukung pelayanan diabetes di Indonesia, terutama dalam memperluas akses obat dan alat kesehatanserta memperkuat layanan fasilitas kesehatan primer antardaerah.
Contohnya, CDiC telah mendistribusikan insulin dan glukometer gratis untuk anak-anak dengan diabetes tipe 1serta membangun klinik diabetes di sejumlah daerah (seperti Aceh, Banten, dan Jember).
Bersama WDFCDiC juga gencar melakukan pelatihan tenaga kesehatan di layanan kesehatan primerserta mengedukasi pasien diabetes dan keluarganya.
Namun, bantuan pendanaan asing selama ini ternyata tidak cukup untuk membendung kasus diabetes di Tanah Air.
Pemerintah perlu memikirkan alternatif pembiayaan lain, termasuk memaksimalkan potensi filantropi lokal yang sangat besar.
Selama lima tahun berturut -turut (2017-2022), Indonesia konsisten menempati peringkat tertinggi dalam Indeks Kedermawanan Dunia oleh Charities Aid Foundation.
Pada 2024, Indonesia kembali menduduki peringkat teratas, baik dalam hal berdonasi maupun kesediaan menjadi relawan.
Tingginya kesadaran filantropi masyarakat Indonesia, berakar dari kuatnya Nilai Islam sebagai agama mayoritas dan tradisi berbagi dengan sesama.
Hal ini tercermin dari besarnya jumlah zakat, infak, sedekah, serta dana sosial keagamaan lain (ZIS-DSKL) yang dihimpun oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). Pada 2024, jumlah ZIS-DSKL mencapai Rp40,5 triliun.
Jumlah tersebut jauh melampaui tahun sebelumnya sebesar Rp32,3 triliun.
Tradisi filantropi masyarakat Indonesia memiliki potensi besar dalam mendukung kesenjangan pelayanan diabetes di Indonesia.
Masyarakat dan lembaga donor lokal bisa bahu membahu dalam mengisi ketimpangan layanan kesehatan yang tidak terjangkau oleh negara.
Dompet Dhuafa, misalnya, memiliki sejumlah program penyaluran dana bantuan sosial (zakat, infak, sedekah, wakaf, dan sumbangan lainnya) dari masyarakat untuk membantu pasien dengan penyakit kronis terutama diabetes.
Salah satunya adalah Gerai Sehatsebuah fasilitas kesehatan primer berupa klinik pratama dan dokter pratama. Gerai Sehat memiliki sembilan titik layanan yang tersebar dari Tambun, Jawa Barat hingga Jayapura, Papua.
Di Gerai Sehat, pasien diabetes mendapatkan pengobatan, edukasi, dan pengawasan rutin dari tenaga kesehatan dan medis. Hingga 2024, ada sekitar 43.782 penerima manfaat Gerai Sehat.
Baca selengkapnya:
Diabetes tipe 5 jadi varian baru: Ini beberapa jenis diabetes yang perlu kamu tahu
Sementara itu, untuk membantu pasien diabetes dengan kebutuhan mendesak, Dompet Dhuafa memiliki unit respons cepat bernama Respon Darurat Kesehatan (RDK) di 12 provinsi.
Unit ini memberikan bantuan kepada pasien yang memiliki kendala ekonomi. RDK juga memberikan layanan rumah sakit bagi pasien diabetes dengan keterbatasan akses transportasi, serta bantuan ambulans bagi orang yang membutuhkan rujukan atau penanganan darurat.
Selain itu, sejumlah hal di bawah ini perlu diperhatikan agar program diabetes dengan dana filantropi berjalan optimal.
1. Fokus ke daerah terpencil dengan kasus tinggi
Pastikan program filantropi selaras dengan prioritas Kementerian Kesehatan, seperti penguatan fasilitas kesehatan primer (puskesmas, klinik, dan praktik dokter) serta pencegahan komplikasi diabetes.
Program layanan diabetes juga perlu dirancang berdasarkan pemetaan epidemiologi. Misalnya, fokus pada daerah dengan kasus diabetes tinggi dan akses terbatas seperti Kalimantan Timur.
2. Regulasi dan tata kelola yang baik
Pemerintah perlu memastikan bahwa dana filantropi digunakan seefisien mungkin. Untuk itu, dibutuhkan kerangka regulasi yang kuat, insentif pajak, dan mekanisme tata kelola yang efektif.
Salah satu cara untuk memperkuat kerangka regulasi dana filantropi adalah dengan menetapkan pedoman yang jelas dan transparan dalam operasional organisasi filantropi.
Pedoman ini harus mencakup isu-isu seperti proses pendaftaran, pengelolaan keuangan, serta persyaratan pelaporan.
Selain itu, pastikan mekanisme tata kelola yang efektif. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa dana filantropi digunakan secara bertanggung jawab dan etis.
Baca selengkapnya:
Peran lembaga filantropi membangun ketahanan pangan dari desa
3. Kolaborasi dengan komunitas lokal
Untuk memperluas jangkauan dan efektivitas program, pemerintah perlu berkolaborasi dengan universitas dan organisasi keagamaanmisalnya Nahdlatul Ulama ataupun Muhammadiyah.
Riset menunjukkan bahwa pelibatan kader kesehatan dan tokoh agama efektif meningkatkan kesadaran diabetes masyarakat di pedesaan.
4. Pemotongan pajak untuk disumbangkan
Pemerintah dapat mendorong partisipasi lebih banyak filantropis lokal lewat pengurangan pajak. Artinya, perusahaan yang berkontribusi dalam program diabetes mendapatkan insentif fiskal berupa potongan pajak.
Filantropi bukan sekadar tambahan, melainkan pilar penting dalam penanganan diabetes di Indonesia. Untuk mencapai cakupan yang lebih luas dan merata, dibutuhkan pendekatan berbasis bukti, tata kelola yang baik, serta kolaborasi strategis dengan filantropis lokal.
Dengan begitu, program filantropi dapat membantu mengatasi ketimpangan akses dan mengurangi beban ekonomi akibat diabetes di masa depan.
Artikel ini merupakan hasil kerja sama TCID bersama para penulis dan IDEAS, lembaga think-tank di bawah naungan Yayasan Dompet Dhuafa.