Bagikan artikel

Cetak artikel

Kawasan Asia Tenggara merupakan pasar besar tidak terkecuali di bidang ekonomi digital.

ASEAN sedang mempersiapkan integrasi ekonomi digital se-Asia Tenggara bernama Digital Economy Framework Agreement (DEFA).

Inisiasi ini bisa jadi peluang besar bagi Indonesia untuk mendapat akses pasar yang luas.

Ekonomi digital kawasan Asia Tenggara didorong saling bersinergi melalui Digital Economy Framework Agreement (DEFA). Malaysia sebagai Ketua ASEAN tahun ini, menargetkan penyelesaian negosiasi ini pada akhir 2025.

DEFA diharapkan dapat menggandakan nilai ekonomi digital kawasan dari US$1 triliun menjadi $2 triliun atau senilai Rp15,5 – 31 ribu triliun.

Untuk mencapai target ini, e-commerce—The berkontribusi 60% transaksi ekonomi digital ASEAN-perlu difasilitasi agar semakin terbuka dan aman melalui kerangka DEFA.

Selama ini, Indonesia dipandang sebagai pemain utama ekonomi digital ASEAN, dengan kontribusi pasar e-commerce terbesar di kawasan. Indonesia perlu bersikap terbuka tetapi berhati-hati agar bisa tetap memimpin pasar digital ekonomi kawasan ini.

Namun, upaya integrasi melalui DEFA ini akan menghadapi tantangan. Indonesia, yang menguasai 34% pasar digital ASEANjustru membatasi e-commerce dari luar negeri.

Melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023pemerintah melarang penjualan barang jadi dari luar negeri di bawah US$100/unit (Rp1,6 juta) melalui platform e-commerce.


Baca selengkapnya:
Barang impor $3 bakal kena pajak, siapa yang kena dampaknya?

Regulasi ini dikeluarkan pada bulan yang sama ketika negosiasi DEFA pertama kali dimulai. Padahal, keterbukaan akses e-commerce akan bermanfaat, apalagi jika diikuti dengan komitmen dan Langkah strategis penguatan industri di dalam negeri.

Pemerintah berdalih pengetatan bertujuan melindungi UMKM dari ‘tsunami’ barang yang terafiliasi dengan Harga predator.

Harga predator atau jual rugi adalah praktik ketika produsen menjual produknya dengan harga yang lebih murah dibanding harga pasar di negaranya sendiri-dikenal juga sebagai aksi dumping.

Namun yang terjadi, kebijakan ini justru memukul banyak usaha kecil menengah yang selama ini menjadi Pengecer: mengimpor komoditas seperti aksesoris, tekstil, barang elektronik ringan atau kosmetik melalui platform e-commerce untuk dijual kembali.

Pemerintah memang menyarankan dua hal, yaitu membeli pasokan dari importir umum atau melakukan substitusi impor dengan beralih pada produk-produk dalam negeri.


Baca selengkapnya:
Temu: e-Commerce disruptif yang menutup ruang ‘middleman’/ perantara

Sayangnya, pemerintah tidak mempertimbangkan ketika para Pengecer membeli melalui importir umum harganya akan lebih tinggi. Ditambah lagi, substitusi impor belum tentu berhasil, mengingat tidak semua barang yang diimpor tersebut dapat diproduksi di dalam negeri.

Substitusi impor dengan dalih melindungi sejatinya memiliki efek negatif juga bagi UMKM lokal. Dengan tidak adanya kompetisi, UMKM lokal akan kurang termotivasi untuk melakukan inovasi. Padahal, inovasi adalah kunci sukses bagi mereka untuk meningkatkan penjualannya.

Selain itu, UMKM dalam negeri tidak perlu khawatir ancaman produk murah yang masuk melalui E-commerce lintas batas Seperti Alibaba melalui AliExpress beberapa waktu lalu yang akhirnya dilarang melayani impor segmen ritel. Produk dari hasil dumping akan sulit masuk ke Indonesia melalui e-commerce lintas batas.

Selain itu, dalam transaksi e-commerce lintas batas harus melewati bea cukai dan membayar bea masuk. Produk tersebut juga menanggung biaya logistik sehingga harga yang awalnya murah akan meningkat ketika masuk ke pasar domestik.

Kalaupun ada produk dumping, maka cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah menyasar produsennya dan menerapkan bea masuk antidumping (BMAD), bukan menutup e-commerce.

Menutup perdagangan karena dumping ibarat menutup jalan raya hanya karena ada beberapa pengendara yang ugal-ugalan. Pemerintah semestinya menindak pengendara bermasalah tersebut, sementara jalan tetap bisa digunakan dengan aman oleh pengguna lain.

Jika Indonesia serius ingin menjadi pusat ekonomi digital ASEAN, maka komitmen tersebut harus dibuktikan dengan kebijakan yang membuka akses, bukan membatasi.

Indonesia masih memiliki waktu untuk melakukan evaluasi dan harmonisasi sebelum DEFA masuki proses ratifikasi 2-3 tahun mendatang.

Berikut beberapa hal yang dapat Indonesia lakukan.

Pertamakebijakan pembatasan impor ini bertentangan dengan esensi kebebasan ekonomi digital dan berpotensi mencegah DEFA menjadi sebuah perjanjian yang memiliki komitmen kuat dan mengikat terkait e-commerce lintas negara.

Keduajika pemerintah ingin UMKM bertumbuh, maka perspektif kebijakan yang digunakan bukanlah proteksionis. Pemerintah justru perlu menciptakan daya iklim usaha yang kondusif agar UMKM dapat berinovasi dengan mudah.

Kemudahan akses bahan baku, infrastruktur logistik dan ekspor-impor bisa memberi dampak lebih besar daripada pelatihan UMKM, subsidi, ataupun insentif pajak.

Waktu dan tenaga yang dihabiskan UMKM untuk mengejar subsidi dan bantuan sebaiknya dialihkan untuk kegiatan produksi barang dan jasa. Iklim persaingan yang adil berperan penting dalam hal ini.

E-commerce lintas batas adalah kendaraan bagi pilar DEFA yang lain. Oleh karena itu, keterbukaan transaksi e-commerce menjadi vital.

Keterbukaan tidak hanya akan meningkatkan volume perdagangan digital antar negara ASEAN, tetapi juga menopang implementasi DEFA, seperti transaksi keuangan lintas batas negara, sistem identifikasi digital, dan lalu lintas data antar kawasan.


Baca selengkapnya:
Stop banggakan jumlah UMKM: Fokuskan pada peningkatan kualitas dan kemudahan izin

Pembayaran lintas batas sangat bergantung pada transaksi lintas negara. E-commerce lintas batas membuka peluang bagi konsumen untuk membeli dari pelaku usaha di negara lain dan menerima pembayaran dari berbagai yurisdiksi.

Ini menciptakan kebutuhan mendesak akan sistem pembayaran regional yang terintegrasi, cepat, murah, dan aman. Termasuk pula kolaborasi dalam sistem pembayaran lintas negara, mulai dari integrasi QR Code, Penyelesaian real-timehingga penguatan kerja sama antarbank sentral ASEAN.


Baca selengkapnya:
Arah baru QRIS setelah disenggol Trump

ID digital juga akan menjadi lebih relevan saat transaksi e-commerce lintas negara meningkat. UMKM membutuhkan identitas digital yang dapat diverifikasi dan diakui antar negara untuk membuka akun di platform asing, mengakses layanan keuangan lintas negara, serta membangun kepercayaan konsumen.

Dalam transaksi e-commerce antarnegara, data konsumen, informasi pembayaran dan logistik harus dapat dipertukarkan secara aman dan efisien antar yurisdiksi.

Hal ini menuntut adanya interoperabilitas sistem dan kejelasan aturan perlindungan data pribadi.

Dengan kata lain, e-commerce lintas perbatasan jadi titik masuk dari integrasi ekonomi digital yang lebih luas di ASEAN. Jika komponen ini dibiarkan lebih terbuka, maka komponen DEFA lainnya akan berjalan lebih optimal dan menghasilkan manfaat yang lebih besar.

Momen DEFA harus bisa dimanfaatkan oleh pelaku bisnis dalam negeri untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi nasional secara keseluruhan.

Tautan Sumber