Minggu, 14 September 2025 – 19: 59 WIB

Jakarta, Viva – Solidaritas di antara kelompok -kelompok etnis Indonesia yang beragam, khususnya antara komunitas Tiongkok dan lainnya, semakin dipandang sebagai penguatan. Ini paling terlihat selama protes pada akhir Agustus 2025, ketika panggilan untuk menyerang toko-toko milik Cina sebaliknya dilawan oleh banding untuk persatuan dan perlindungan di seluruh jalur etnis.

Baca juga:

Membingkai ulang migrasi Cina di Asia Tenggara

Menanggapi pembangunan, Andrew Susanto, ketua Asosiasi Peranakan Indonesia Tiongkok (Aspertina), mendesak partisipasi yang lebih besar dari masyarakat dalam pembangunan bangsa. “Kontribusi tokoh -tokoh Cina di masa lalu dan sekarang menunjukkan bahwa orang Cina adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Indonesia. Penting bagi kami untuk memperkuat kepercayaan ini dan bekerja bersama untuk membangun Republik Indonesia yang kami cintai,” katanya.

Pernyataan itu dibuat selama diskusi publik berjudul “Untuk Indonesia: Cina dan Aktivisme Dari Waktu ke Waktu”, diadakan di Jakarta pada 13 September 2025 Acara ini diselenggarakan oleh Asosiasi Pemuda Cina Indonesia (IPTI), Aspertina, dan Forum Sinologi Indonesia (FSI).

Baca juga:

Perkuat Kolaborasi Kebudayaan, GP Ansor Luncurkan Chinese Discovering Facility dan Positif Video game Ecosystem

Menghadiri acara tersebut adalah Ketua IPTI Ardy Susanto Oey dan pendiri FSI Johanes Herlijanto. Ardy menyatakan, “Sama seperti diaspora Indonesia di luar negeri menganggap negara asing tanah air mereka, orang Cina menganggap Indonesia sebagai tanah air mereka.”

Para peneliti di FSI menganggap lonjakan solidaritas sebagai hasil positif dari peningkatan pengakuan bahwa orang Cina adalah bagian penuh dan essential dari Indonesia. Sekretaris FSI Muhammad Farid mencatat, “Sejak awal pembangunan bangsa, selalu ada kelompok-kelompok Cina yang memilih untuk berpihak pada Indonesia daripada kekuatan asing, baik kolonialisme Belanda atau Cina.”

Baca juga:

22 Dibunuh Setelah Kebakaran Menyalakan Pabrik Baterai Lithium di Korea Selatan

Farid menyoroti keterlibatan lama orang Indonesia Cina dalam aktivisme sosial dan politik. “Di masa lalu, kami tahu nama -nama seperti Soe Hok Gie, Yap Thiam Hien, Ester Indahyani Yusuf, Hendrawan Sie, dan Yap Yun Hap, yang tidak hanya berjuang tetapi mengorbankan diri mereka untuk bangsa dan masyarakat yang lebih baik,” katanya.

Menurut Farid, aktivisme seperti itu bukan hanya kisah masa lalu tetapi berlanjut pada hari ini. “Melalui media sosial, mereka menggunakan istilah ‘Chindo’ dan dengan bangga menyoroti identitas Indonesia mereka,” jelas Farid, yang juga seorang dosen di Presiden Universitas.

Bagi peneliti Brin, Lidya Christin Sinaga, narasi ini sangat penting dalam melestarikan ingatan kolektif bangsa. “Mempertahankan ingatan ini penting karena acara publik meninggalkan nilai mendalam pada mereka yang mengalaminya, terutama kaum muda yang sedang dalam proses membangun identitas mereka,” katanya.

Sejarawan Didi Kwartanada mengingatkan penonton aktivis Tiongkok sebelum dan sesudah kemerdekaan, termasuk pengacara Mr Tjan Gwan Kwie, yang membela petani di Banyuwangi pada tahun 1943 Dia juga mengutip Yap Thiam Hien, seorang advokat hak asasi manusia yang terkenal, yang namanya dikenang melalui penghargaan Yap Thiam Hien.

Sementara itu, aktivis muda Daniel Winarta, sekarang bersama Jakarta Legal Help Institute, merefleksikan tekanan yang dihadapi generasinya. “Pertama, kita menanggung beban sejarah yang ada sebelum kita dilahirkan,” katanya, memperingatkan bahwa ketakutan dalam masyarakat terus menahan keterlibatan pemuda dalam aktivisme.

Halaman Selanjutnya

Bagi peneliti Brin, Lidya Christin Sinaga, narasi ini sangat penting dalam melestarikan ingatan kolektif bangsa. “Mempertahankan ingatan ini penting karena acara publik meninggalkan nilai mendalam pada mereka yang mengalaminya, terutama kaum muda yang sedang dalam proses membangun identitas mereka,” katanya.

Halaman Selanjutnya

Tautan Sumber