Advertorial

Sabtu, 27 Desember 2025 – 10:00 WIB

Aceh, PANJANG HIDUP – Forum Konservasi Leuser (FKL) menilai siklus banjir di Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh, semakin cepat dan mengkhawatirkan. Jika sebelumnya banjir besar terjadi dalam rentang waktu sekitar 10 tahun, kini polanya berubah menjadi hampir tiga tahun sekali, menyerupai tren banjir di kawasan Asia Tenggara.

Baca Juga:

Polri Bakal Bangun 300 Sumur Bor Air Bersih di Aceh Tamiang, Tersedia di 40 Titik

Senior Advisor FKL, Rudi Putra, mengatakan percepatan siklus banjir tersebut menjadi sinyal serius adanya kerusakan lingkungan yang belum tertangani dengan baik dan perlu segera diantisipasi secara menyeluruh.

“Kalau kita lihat trennya, banjir di Tamiang ini sudah semakin singkat. Dulu regulernya 10 tahun sekali, sekarang 2022, 2023, lalu 2025 kembali banjir. Ini menunjukkan ada kerusakan serius yang harus kita antisipasi,” kata Rudi Putra saat kegiatan refleksi satu bulan pascabanjir bandang Aceh Tamiang, Jumat, 26 Desember 2025.

Baca Juga:

Pemulihan Pascabanjir Aceh Tamiang, Akses Dibuka dan Huntara Mulai Disiapkan

Kondisi dari udara situasi bencana banjir di Aceh Tamiang, Aceh.

Foto :

  • ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas

Rudi menegaskan, tanpa perubahan kebijakan yang tegas dalam pengelolaan hutan dan sungai, Aceh Tamiang berpotensi kembali dilanda bencana serupa dalam waktu tiga tahun ke depan.

Baca Juga:

Tanggap Darurat Bencana Aceh Kembali Diperpanjang hingga 8 Januari 2026

Menurutnya, pendekatan menjaga hutan saja tidak lagi cukup. Pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan didorong untuk melakukan restorasi hutan secara menyeluruh, terutama pada kawasan yang telah rusak.

“Perlu perubahan yang radikal. Kita bukan lagi sekadar menjaga hutan, tapi wajib merestorasi hutan yang sudah rusak,” ujarnya.

Salah satu langkah mendesak yang disorot FKL adalah penghentian total aktivitas perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan. Baik kebun sawit ilegal, milik perusahaan, maupun perorangan, seluruhnya harus direstorasi.

“Tidak ada lagi istilah memanfaatkan kebun sawit di dalam hutan. Itu tidak boleh,” tegas Rudi.

Selain kawasan hutan, kondisi daerah aliran sungai (DAS) juga menjadi faktor krusial dalam percepatan siklus banjir. Rudi menyebut saat ini banyak kebun sawit berdiri di sepanjang sempadan sungai, yang seharusnya menjadi zona steril.

“Secara aturan, 100 meter kiri-kanan sungai harus steril. Tidak boleh ada pembangunan, tambang, maupun kebun sawit. Kalau ini tidak dipulihkan, tinggi muka air akan terus meningkat,” katanya.

FKL juga menilai upaya teknis seperti normalisasi sungai atau peninggian tanggul bukan solusi permanen. Langkah tersebut justru berpotensi memindahkan risiko banjir ke wilayah lain.

Halaman Selanjutnya

“Meski dibangun tanggul kiri-kanan sungai, kalau muka air sudah lebih tinggi, hasilnya tetap sama. Itu bukan solusi jangka panjang,” ujar Rudi.

Halaman Selanjutnya

Tautan Sumber