Senin, 17 November 2025 – 00: 25 WIB

Jakarta — Pengamat politik, Amsori Baharudin Syah menilai kiprah Seskab Teddy Indra Wijaya menandai pergeseran penting dalam praktik kepemimpinan birokrasi di Indonesia.

Baca Juga:

Generasi Y Dominasi Jumlah ASN, Ini yang Disoroti Guna Genjot Kualitas

Sebab, Seskab Teddy tidak lagi sekadar menjalankan peran teknokratis. Melainkan memilih turun langsung ke akar rumput mengunjungi sekolah rakyat, mendengar cerita anak-anak dan orang tua, serta memahami persoalan tanpa sekat protokoler.

Menurut Amsori, langkah ini menunjukkan bahwa Seskab Teddy bukan sekadar pejabat yang bekerja dari balik meja, melainkan figur administratur negara yang memahami bahwa pelayanan publik dimulai dari kehadiran, empati, dan interaksi manusiawi.

Baca Juga:

Kinerjanya Moncer, Seskab Teddy Dinilai Punya Peran Sentral Jika Prabowo Maju di Pilpres 2029

“Apa yang dilakukan Teddy Indra Wijaya adalah bentuk tertinggi dari pelayanan publik. Ia hadir bukan sebagai pejabat, tetapi sebagai manusia yang mau mendengar,” ujar Amsori, Minggu, 16 November 2025

Amsori menilai pendekatan Teddy menghadirkan model kepemimpinan publik yang jarang terlihat pada pejabat setingkat kabinet.

Baca Juga:

Prabowo Tugaskan Mensesneg Cek Serapan Anggaran Daerah, Ingin Semua Tepat Sasaran

Dalam banyak birokrasi modern-day, pejabat umumnya berfungsi sebagai pengambil keputusan strategis di balik ruang rapat. Namun Teddy, kata dia, justru memindahkan sebagian ruang kerjanya ke tengah masyarakat.

“Di mata saya, Teddy hadir sebagai wujud negara yang mengasuh, bukan mengatur. Ini penting, karena negara tidak cukup hanya membuat aturan, negara harus hadir dalam rasa, hadir dalam kehidupan warganya,” ucap Amsori.

Kehadiran fisik pejabat tinggi negara, lanjut Amsori, memiliki dampak psikologis kuat. Masyarakat merasa dilihat, didengar, dan dihargai. Dalam situasi di mana jarak antara pemerintah dan rakyat kerap terasa lebar, Seskab Teddy justru menembus batas tersebut.

Amsori menyebut gaya kepemimpinan Seskab Teddy sejalan dengan konsep “empathetic governance”, sebuah pendekatan dalam teori kepemimpinan publik yang menekankan kehadiran emosional, bukan hanya struktural.

Ia menjelaskan bahwa menurut teori Hannah Arendt tentang “power as acting in concert”, kekuasaan politik sejati muncul ketika pemimpin berada dalam ruang yang sama dengan rakyat dan membangun kepercayaan melalui tindakan konkret.

Kekuasaan bukan berasal dari jabatan, melainkan dari keberhasilan membangun hubungan sosial.

Teddy tidak menunjukkan kekuatan administratif, tapi kekuatan ethical. Dia membangun legitimasi dengan mendengarkan, bukan memerintah, kata Amsori.

Halaman Selanjutnya

Pendekatan ini, menurutnya, menjadi modal penting bagi birokrasi contemporary yang menuntut pemimpin untuk adaptif, inklusif, dan dekat dengan realitas sosial.

Tautan Sumber