Muzdalifah, VIVA – Setelah menjalani Wukuf di bidang Arafat – yang merupakan puncak ziarah – jemaat bergerak ke Muzdalifah. Ini adalah salah satu fase terpenting dalam serangkaian ziarah yang tidak dapat dilewatkan. Mabit di Muzdalifah tidak hanya dalam semalam atau berhenti sejenak, tetapi juga menjaga banyak pelajaran spiritual, memperkuat iman, dan mengenang Allah Yang Mahakuasa.
Baca juga:
Jabal Rahmah dan Arafat Area: Simbol Cinta dan Spiritualitas Muslim
Lalu, apa itu mabit di Muzdalifah? Bagaimana tata caranya? Dan apa makna yang bisa dipetik dari ibadah ini? Mari kita kupas secara lengkap dalam artikel berikut.
Apa Itu Mabit di Muzdalifah?
Baca juga:
Wukuf di Arafah: Menyemai Persaudaraan Sejati di Tengah Kemajemukan Bangsa
Secara bahasa, “mabit” berarti bermalam atau singgah. Sedangkan Muzdalifah adalah sebuah lembah terbuka yang terletak di antara Arafah dan Mina. Maka, mabit di Muzdalifah adalah kegiatan bermalam atau singgah sejenak di lembah Muzdalifah setelah selesai melaksanakan wukuf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah.
Dalam ibadah haji, mabit di Muzdalifah dilakukan pada malam 10 Dzulhijjah hingga menjelang subuh, dan menjadi bagian dari manasik haji yang disyariatkan. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah SWT:
Baca juga:
Arafah: Puncak Kesadaran dan Gerbang Haji Mabrur
“Jadi ketika Anda berangkat dari Arafat, renungkan Allah di Masy’aril Haram (Muzdalifah), dan renungkannya seperti yang telah ia tunjukkan kepada Anda …” (Qs. Al-Baqarah: 198
Jemaah haji saat bermalam di Muzdalifah. Mereka juga mengumpulkan batu kecil untuk melempar jumrah.
Hukum Mabit di Muzdalifah
Mayoritas ulama, termasuk mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i, menyatakan bahwa mabit di Muzdalifah adalah wajib dalam rangkaian ibadah haji. Jika tidak dilaksanakan tanpa uzur syar’ i, maka jamaah wajib membayar dam (denda) berupa menyembelih seekor kambing.
Namun, bagi jamaah yang memiliki udzur seperti lansia, sakit, atau perempuan yang membawa anak kecil, ada keringanan untuk tidak mabit penuh sepanjang malam. Mereka boleh berangkat lebih awal ke Mina, biasanya setelah tengah malam.
Tata Cara Mabit di Muzdalifah
1 Berangkat dari Arafah Setelah Terbenam Matahari
Setelah matahari tenggelam di Arafah, jamaah haji bergerak ke Muzdalifah. Perjalanan ini dilakukan dengan penuh kekhusyukan, sambil memperbanyak dzikir dan takbir.
Nabi Muhammad tidak berdoa di Arafat, tetapi ia menghabiskan doa Maghrib dan Isha di Muzdalifah, seperti apa adanya:
“Ini bukan utusan Allah (semoga damai di atasnya) salat maghrib pada malam Arafat kecuali dalam muzdalifah.” (Jam. Bukhari)
2 Membuang Maghrib dan Isha di Muzdalifah
Setibanya di Muzdalifah, jamaah melaksanakan salat Maghrib dan Isya secara jamak qashar (digabung dan diringkas). Maghrib 3 rakaat dan Isya 2 rakaat, dilakukan tanpa jeda panjang.
3 Mabit dan Kumpulkan Batu
Setelah salat, jamaah diharuskan mabit atau bermalam di Muzdalifah hingga lewat tengah malam, dan lebih utama hingga waktu Subuh. Di sela waktu tersebut, jamaah dianjurkan untuk beristirahat, berdzikir, dan berdoa sebanyak-banyaknya.
Di Muzdalifah, para peziarah mengumpulkan kerikil kecil – biasanya 49 atau 70 – yang akan digunakan untuk melempar jumrah di Mina mulai 10 dzulhijjah.
4 Dawn dan Peringatan Masy’aril Haram
Setelah melaksanakan salat Subuh, jamaah berdzikir dan berdoa menghadap kiblat di Masy’aril Haram, yaitu location khusus di Muzdalifah yang dimuliakan. Setelah itu, jamaah bergerak menuju Mina sebelum matahari terbit.
Makna dan kebijaksanaan mabit di muzdalifah
1 Melatih Kesabaran dan Kebersamaan
Mabit di Muzdalifah dilakukan dalam kondisi yang sederhana– tanpa tenda, hanya beralaskan tanah dan beratapkan langit. Suasana ini menyatukan semua jamaah dalam kesederhanaan, tanpa membedakan standing sosial, kebangsaan, atau latar belakang. Ini menjadi pelajaran tentang ukhuwah dan kesabaran.
2 Simbol Perjalanan Hidup
Perjalanan dari Arafat ke Muzdalifah dan kemudian ke Mina melambangkan perjalanan kehidupan manusia. Dari kesadaran spiritual Arafat, manusia sedang menuju perenungan dan pengumpulan pasokan (batu di Muzdalifah), dan menghadapi tes dan perjuangan (melempar jumrah di Mina).
3 Momentum dan kontemplasi Tadabbur
Di tengah keheningan malam, Muzdalifah mengajarkan jamaah untuk merenungkan diri, mengingat dosa-dosa, dan menyusun niat untuk memperbaiki diri ke depan. Tempat ini menjadi saksi bisu akan permohonan maaf, rasa syukur, dan harapan dari hati yang tulus.
Keringanan Bagi Jamaah Rentan
Syariat Islam sangat fleksibel dan penuh kasih sayang. Oleh karena itu, bagi jamaah lansia, sakit, atau wanita hamil, boleh meninggalkan Muzdalifah lebih awal setelah tengah malam untuk menghindari kepadatan dan risiko kelelahan. Ini termasuk dalam rukhshah (keringanan) dalam ibadah haji.
Mabit di muzdalifah, persiapan untuk liburan dan melempar jumrah
Setelah Muzdalifah, para peziarah pindah ke Mina untuk melakukan pilar dan ziarah berikutnya, yaitu aqabah, membantai pengorbanan, mencukur rambut (tahallul), dan Tawaf Ifadah.
Muzdalifah bukan hanya tempat untuk berhenti. Ini adalah simbol konsolidasi, penyerahan, dan penguatan spiritual. Dari tanah ini, jutaan hati dipersatukan dalam doa dan doa, berharap untuk Ridha ilahi, memurnikan diri mereka sendiri, dan melangkah menuju pengampunan dan berkah.
Semoga setiap mabit kita di Muzdalifah diterima sebagai bagian dari haji yang mabrur, dan menjadi awal dari perubahan diri menjadi insan yang lebih taat, sabar, dan penuh cinta kasih.
Halaman Selanjutnya
Mayoritas ulama, termasuk mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i, menyatakan bahwa mabit di Muzdalifah adalah wajib dalam rangkaian ibadah haji. Jika tidak dilaksanakan tanpa uzur syar’ i, maka jamaah wajib membayar dam (denda) berupa menyembelih seekor kambing.